Negara tak boleh mendiamkan pemerasan terhadap sejumlah gereja di Bandung dan sekitarnya oleh organisasi massa berlabel agama. Setiap pembiaran merupakan benih bagi intoleransi lainnya dan penyubur bagi kekerasan yang lebih parah.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan pemerasan itu dibungkus dengan dalih pengamanan. Bila ingin beribadah tanpa diganggu, umat Nasrani harus membayar puluhan sampai ratusan juta rupiah. Gereja-gereja yang tak punya izin mendirikan bangunan (IMB) dijadikan bulan-bulanan untuk diperas.
Temuan Komnas HAM itu menambah panjang daftar kasus intoleransi di Jawa Barat. Sepanjang 2015 dalam catatan Komnas, ada 20 kejadian di wilayah tersebut dari jumlah total 87 kasus di Indonesia. Data The Wahid Institute bahkan lebih tinggi: ada 32 kasus kekerasan di sana pada tahun lalu. Kedua data menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi paling intoleran.
Pemerasan terhadap mereka yang hendak beribadah merupakan pelanggaran konstitusi dan turunannya: Undang-Undang HAM dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak beragama dan beribadah dijamin oleh tiga pasal sekaligus, yakni Pasal 28-E ayat (2), Pasal 28-I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2). Adapun UU HAM menegaskan kebebasan beragama dalam Pasal 4 dan Pasal 22.
Dua pasal dalam KUHP, yakni Pasal 175 dan 176, secara khusus memuat soal ancaman terhadap penghalang dan pengganggu umat lain beribadah. Satu lagi, Pasal 368, mengatur secara umum pidana pemerasan. Seorang pemeras bisa dihukum maksimal hingga 9 tahun penjara-jauh lebih tinggi ketimbang hanya mengganggu atau merintangi peribadatan.
Begitu terang-benderangnya peraturan yang dilanggar, negara tak bisa lagi tutup mata. Pemerintah harus tegas menjamin kelompok minoritas bisa beribadah dengan khusyuk. Langkah pertama, pemerintah harus mencabut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Tahun 2006 soal syarat pendirian rumah ibadah. Aturan itulah yang kerap dijadikan dasar kelompok intoleran dalam menutup rumah ibadah.
Gubernur Jawa Barat, wali kota, dan bupati di sekitar Bandung tak perlu takut mengambil risiko untuk mencegah penindasan oleh kelompok mayoritas. Mereka semestinya mencontoh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang mengeluarkan Surat Edaran tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan tertanggal 10 November 2015.
Persoalan yang sudah terjadi harus dibawa ke ranah hukum, bukan diselesaikan dengan cara berkompromi. Kebiasaan polisi berkompromi untuk menyelesaikan kasus yang jelas hitam-putih malah membuat minoritas kian lemah. Polisi sepatutnya mengedepankan undang-undang. Apalagi, dalam kasus pemerasan gereja sudah jelas ada perbuatan kriminal. Polisi tinggal masuk lewat pasal undang-undang itu untuk menjerat kelompok intoleran.