Putu Setia
Seumur-umur, baru sekali saya memasuki kompleks penjara. Itu pun pada 1980-an, dalam tugas meliput. Saya menemukan lelaki kurus di belakang jeruji besi yang kehausan, mungkin juga kelaparan. Saya menjumpai orang yang dengan mudahnya ditampar sipir penjara tanpa jelas apa kesalahannya. Orang-orang tidur berdempetan, kaki ketemu kepala, ludah dan kencing menyatu di lantai, tempat mereka berbaring. Saya tak kuat menahan sedih. Aduh....
Beberapa bulan yang lalu, seorang teman mau mengajak saya ke Rumah Tahanan Salemba dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Mau bezuk kawan akrab yang dipenjara kasus cek pelawat. Hanya berpikir sejenak, saya menolak ajakan itu. Penjara sekarang beda, mereka bisa tidur pulas, ketawa-ketawa sambil olahraga, makannya enak, bisa nonton TV dan pakai telepon selular, kata sahabat saya.
Saya tahu itu, walau hanya dari membaca dan menonton TV. Ada perubahan konsep, istilah penjara dan bui dihapus karena kesannya penghukuman. Penggantinya, lembaga pemasyarakatan, yang bermakna pembinaan. Namun konsep itu tak sepenuhnya jalan, bahkan terjadi ketidakadilan antara terpidana berduit dan terpidana kere.
Perubahan konsep seharusnya tak mengubah pengawasan. Dihukum atau dibina, penghuni penjara harus tetap diawasi ketat. Sebagian hak mereka dipasung: tak boleh keluar tanpa izin, dibezuk dengan batasan waktu, dan seharusnya--peraturan juga menyatakan demikian--tak boleh menggunakan telepon selular. Pemasungan itulah yang membedakan dengan orang tak bersalah, dan diharapkan menimbulkan efek jera sehingga anak binaan ini kembali ke masyarakat dengan prilaku yang baik.
Sekarang, bagaimana bisa para terpidana bebas menggunakan telepon seluler di dalam tembok penjara? Yang sangat tak masuk akal, bagaimana mungkin anak binaan itu bisa mendapatkan sabu-sabu, ganja, ekstasi, dan jenis narkotik lainnya? Lebih-lebih lagi, mereka bukan hanya pemakai, tetapi juga bandar narkotik. Ini aneh berbapak ajaib, dari dalam tembok bui bisa melakukan bisnis haram.
Jelas, pengawasan lemah. Kepala penjara, stafnya, sipir, semua harus disalahkan. Padahal pengawasan itu tidaklah ribet. Para pembezuk antre, dan barang bawaan mereka diperiksa dengan teliti. Ternyata kebobolan. Kini bui berubah jadi pasar gelap. Barang apa pun, termasuk narkoba, bisa lolos dengan aman. Para terpidana elite--makelar narkoba dan koruptor--justru jadi bos di bui. Merekalah yang mengatur sipir. Dulu sipir hanya memainkan pungutan antre bezuk, kini sudah dibina terpidana elite.
Penggerebekan sarang narkoba di penjara tak mungkin melibatkan kepala penjara, apalagi sipir. Itu yang dilakukan Badan Narkotika Nasional saat menggerebek sarang narkoba di beberapa penjara, termasuk di LP Pekanbaru. Masuk akal jika Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang ikut dalam penggerebekan itu, marah besar karena pintu terlambat dibuka. Keterlambatan bisa berarti banyak, orang yang dicari dengan mudah membuang barang bukti ke toilet, dan penjara pun terkesan bersih.
Sekeras-kerasnya seorang Denny menampar sipir--itu pun kalau benar--pekerjaannya jauh lebih dahsyat: membasmi pasar narkoba di penjara. Ini yang harus didukung kalau Anda ingin negeri ini bebas dari narkoba. Menteri Hukum tak boleh takut, manajemen penjara harus dibenahi, masih banyak orang yang perlu ditampar. Tentu, tamparan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, dengan menegur atau mencopot, misalnya. Sesekali ada tamparan fisik kepada sipir, anggaplah itu hukum karma karena sipir biasa menampar terpidana kelas jelata.