Firdaus Cahyadi, Aktivis Lingkungan
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta masih setahun lagi. Namun beberapa tokoh sudah mulai mendeklarasikan dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Berbagai cara dilakukan para tokoh untuk mendeklarasikan pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Ada tokoh yang deklarasinya dihadiri para pesohor, ada pula tokoh yang mendeklarasikan pencalonannya hanya melalui akun Facebook. Tokoh tersebut adalah Marco Kusumawijaya, pakar tata ruang yang selama ini kritis terhadap kebijakan- kebijakan Pemerintah Kota DKI Jakarta yang dinilai pro terhadap pemilik modal dan anti-rakyat miskin serta membahayakan keseimbangan lingkungan hidup.
Terlepas dari berbagai macam cara deklarasi calon Gubernur DKI Jakarta tersebut, Kota Jakarta memang memiliki segudang masalah. Selama ini, para Gubernur DKI Jakarta telah berupaya menyelesaikan persoalan Jakarta. Namun cara mereka menyelesaikan persoalan yang ada masih menggunakan para digma usang. Akibatnya, persoalan Ibu Kota yang sesungguhnya justru tidak bisa diurai.
Paradigma usang dalam menyelesaikan persoalan Jakarta tampak dari pendekatan pembangunan yang justru menambah beban ekologis kota Jakarta. Salah satu paradigma usang pembangunan itu tampak dalam pembenahan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta bukan hanya telah merampas waktu produktif warga kota, tapi juga telah meningkatkan kadar polusi udara di Jakarta. Merujuk pada sebuah penelitian Universitas Indonesia, sekitar 57,8 persen pasien di rumah sakit Jakarta menderita penyakit komplikasi pernapasan akibat polusi udara. Dari keseluruhan pasien, sekitar 1,2 juta atau 12,6 persen memiliki keluhan penyakit asma atau bronkitis.
Dengan perkiraan biaya Rp 173 ribu hingga Rp 4,4 juta per pasien, ongkos total pengobatan akibat asma dan bronkitis bisa mencapai Rp 210 miliar sampai Rp 5,3 triliun.
Polusi udara di Jakarta disebabkan oleh asap beracun dari knalpot kendaraan bermotor. Semakin bertambah kemacetan lalu lintas di Jakarta, semakin meningkat pula polusi udaranya. Sayangnya, meski Gubernur DKI Jakarta terus berganti, paradigma usang dalam mengurai kemacetan lalu lintas terus saja bertahan.
Paradigma usang pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas ini adalah menambah panjang jalan, dengan alasan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor tidak seimbang dengan pertambahan panjang jalan. Padahal pertambahan panjang jalan justru merangsang orang untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Sudah banyak penelitian di berbagai negara yang mengungkap keterkaitan antara penambahan panjang jalan, termasuk pembangunan jalan tol, dan kemacetan lalu lintas. Sebuah penelitian yang dilakukan di California, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa setiap 1 persen penambahan panjang jalan dalam setiap satu mil jalur akan menghasilkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebesar 0,9 persen dalam waktu lima tahun (Hanson, 1995).
Di Mumbai, India, misalnya, ketika jalan diperpanjang dua kali lipat dari 1951 hingga 2007, jumlah kendaraan bertambah 43 kali lipat. Sebuah studi di University of California di Berkeley antara 1973 dan 1990 mengungkap, untuk setiap 10 persen kenaikan kapasitas jalan raya (termasuk jalan tol), kepadatan lalu lintas juga naik sekitar 9 persen dalam empat tahun (1 Carol Jouzatis. "39 Million People Work, Live Outside City Centers." USA Today, November 4, 1997: 1A-2A).
Karena itu, tidak aneh jika Lee Myung-bak, saat menjabat Wali Kota Seoul, Korea Selatan, berani menghancurkan jalan tol layang pada 2003. Keberanian Lee Myung-bak menghancurkan jalan tol di Kota Seoul didasari sebuah keyakinan bahwa pembangunan jalan tol dalam kota tidak akan bisa mengatasi kemacetan lalu lintas. Pembangunan jalan tol dalam kota justru akan menambah kesemrawutan kota. Dengan menghancurkan jalan tol, ia justru ingin memperbaiki wajah kotanya.
Alih-alih membuat terobosan baru, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok justru mendorong pembangunan enam jalan tol agar dipercepat. Padahal studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta sendiri (PT Pembangunan Jaya, Mei 2005) justru menyatakan setiap pertambahan jalan sepanjang 1 kilometer di Jakarta akan selalu dibarengi dengan pertambah an 1.923 mobil pribadi.
Dapat dibayangkan berapa ratus ribu mobil lagi yang akan berkeliaran di Jakarta jika dibangun jalan tol dalam kota baru sepanjang 69,77 kilometer. Singkat kata, proyek pembangunan enam jalan tol dalam kota itu tidak menguntungkan warga Jakarta, yang selama ini telah tersiksa oleh kemacetan lalu lintas dan polusi udara.
Padahal, saat kampanye menjadi calon Gubernur DKI Jakarta bersama Joko Widodo (Jokowi), proyek pembangunan enam jalan tol dalam kota tersebut ditolak. Pembangunan tol di dalam kota warisan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya dinilai sebuah kebijakan yang keliru. Namun entah mengapa setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, Ahok justru begitu bernafsu melanjutkan proyek enam jalan tol dalam kota.
Untuk Jakarta yang lebih baik, paradigma usang pembangunan Kota Jakarta harus ditinggalkan, termasuk dalam mengatasi kemacetan lalu lintas. Jakarta perlu gubernur baru yang bukan saja berani, tapi juga memiliki paradigma baru dalam pembangunan.
Siapa calon Gubernur DKI Jakarta yang memiliki paradigma baru pembangunan kota? Untuk menilainya, kita bisa melihat jejak rekam para calon gubernur itu dalam perdebatan wacana penyelesaian persoalan Jakarta. Dalam mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas, misalnya, bila cagub DKI Jakarta masih mengedepankan pendekatan pembangunan jalan raya, termasuk jalan tol, dapat dipastikan cagub tersebut menggunakan paradigma usang pembangunan.