Bambang Bujono, Penulis
Pada mulanya adalah gambar, ketika manusia prasejarah menggambari dinding gua. Gambar binatang buruan, cara memburunya, dan sebagainya. Lalu ditemukan huruf, dan dengan itu komunikasi tak langsung pun bisa lebih terinci disampaikan.
Namun ternyata huruf yang membentuk kata dan kalimat tak bisa menggantikan gambar sepenuhnya. Komunikasi ternyata tetap memerlukan gambar. Bagaimana bisa jelas, ketika seorang biarawan pada abad ke-17 hanya mengandalkan kata untuk menyampaikan temuannya tentang rotasi bumi? Bagaimana pembaca mudah memahami pernik-pernik perekonomian Inggris di abad ke-18 bila William Playfair, insinyur yang juga ekonom itu, hanya menggunakan kata-kata dalam bukunya tentang peta politik perekonomian?
Dan lebih daripada itu, ketika media massa pun berkembang seiring dengan perkembangan teknologi berkaitan dengan produksi media massa, surat kabar dan majalah tak hanya dipenuhi kata. Konon, istilah "grafis" untuk menamai gambar yang menjelaskan sebuah artikel di majalah pertama kali dilansir oleh seorang matematikawan Inggris, James J. Sylvester, pada abad ke-19. Dalam salah satu edisi Nature, majalah sains, ia menjelaskan hubungan ilmu kimia dan matematika dilengkapi penjelasan gambar, angka, dan sebagainya yang dia namakan "graph".
Sementara "nyatakanlah dengan gambar" sudah ada di zaman prasejarah, istilah information graphics yang dipopulerkan sebagai infographics rupanya terhitung "baru". Dan bila kemudian infografis tak terpisahkan dengan media massa, awal mulanya lebih baru lagi. Menurut berbagai tulisan, adalah seorang Peter Sullivan, desainer grafis yang bekerja di surat kabar The Sunday Times, yang pada 1970-an rajin membuat infografis untuk lebih memudahkan pembaca koran itu memahami berita dan artikel di koran tersebut. Virus infografis pun segera menyebar ke seluruh media massa di dunia. Bukan berarti bahwa sebelumnya media massa tak tahu-menahu ihwal infografis; yang terjadi, pemahaman bahwa infografis adalah tak terpisahkan dengan berita dan artikel dimulai dari kerja Sullivan.
Bangga juga kita, bahwa infografis dianggap penting oleh media massa Indonesia boleh dikata hadir hampir bersamaan dengan boom infografis di The Sunday Times. Dan itu, dalam hal majalah berita, setahu saya, dimulai oleh majalah berita mingguan Tempo (tempat saya bekerja sejak 1978). Pionir infografis di majalah ini, siapa lagi bila bukan kepala tim desainernya: Syahrinur Prinka atau lebih populer sebagai S. Prink, yang pada pertengahan September lalu mendapatkan Penghargaan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pelopor infografis di majalah?
Saya tak tahu persis, adakah ketika itu Prinka atau Tempo dalam hal infografis ini mengacu pada The Sunday Times. Seingat saya koran Inggris ini tidak ada di perpustakaan majalah ini ketika itu. Tempo tampaknya lebih keamerikaan: yang ada, The New York Times Magazine, suplemen koran The New York Times.
Yang pasti, kebutuhan akan infografis di majalah berita sudah barang tentu sudah ada sejak sebuah majalah diterbitkan. Namun kesadaran pentingnya infografis, yang bukan sekadar pengiring atau pendamping berita dan artikel, baru datang kemudian. Dan kesadaran itulah, saya kira, yang menjadikan infografis berkembang lebih baik dan lebih baik. Dalam hal Tempo, Prinka bisa dibilang sebagai pelopor infografis. Ada dua hal menurut saya yang memungkinkan kepeloporan itu terjadi.
Pertama, Prinka anggota Gerakan Seni Rupa Baru. Gerakan yang lahir pada pertengahan 1970-an ini, antara lain, mengubah pemahaman seni rupa yang tak terbagi-bagi atas lukis, patung, grafis, dan sebagainya. Karena itu, kreativitas berkaitan dengan seni rupa bisa ada di mana-mana, termasuk di perwajahan majalah berita. Kesadaran ini membuat desainer visual dengan rekan-rekannya (ilustrator, penata letak, dan sebagainya) menjadi lebih leluasa berkreasi. Konvensi bahwa "bahan pokok" media massa adalah berita dan artikel yang disampaikan dengan kata-kata, mencair. Kata-kata bisa menjadi lebih dipahami bilamana berita juga diwujudkan dalam "gambar"-dalam hal ini infografis.
Kedua, rupanya pemimpin redaksi Tempo memahami perkembangan itu dan menyambut dengan baik: tim desain visual diberi keleluasaan berkreasi.
Melajulah Prinka dengan timnya yang "mengharu-biru" halaman-halaman Tempo, termasuk kulit mukanya. Pada zaman ketika majalah biasanya hanya memasang gambar wajah orang, Prinka membuat lebih dari itu. Yang saya ingat, pada Tempo edisi laporan utama musibah pesawat jatuh, 1977, Prinka lebih menyajikan bidang kosong merah, dan gambar pesawat jatuh hanya memakan sekitar seperenam bidang. Selain kreasi ini menjadi eye catching, terpancing pula imajinasi: betapa dahsyat musibah ini, atau ini berita yang perlu dibaca, dan lain sebagainya-terserah pemirsa.
Demikian juga dalam hal infografis. Prinka tak sekadar membuat "ilustrasi" untuk penghias halaman berita. Ia juga menafsirkan berita secara visual, lalu menyajikan sebuah adonan gambar, angka, foto, dan lain-lain yang dibentuk menjadi sesuatu yang unik. Efeknya, sebagaimana gambar kulit muka itu: eye cathching dan menggugah imajinasi-maksudnya membuat pembaca "mau dan berani" menafsirkan data dan fakta. Mungkin ini sesuai dengan semboyan "cerita di balik berita".
Dan sesudah "tradisi" itu menyatu dengan Tempo, selanjutnya adalah sebuah perkembangan: infografis menjadi bagian yang sama nilainya dengan berita dalam kata-kata. Bahkan, bisa disemboyankan: "satu infografis = seribu kata".