Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kamar Kedua Parlemen

image-profil

image-gnews
Iklan

Hifdzil Alim, Periset di Pukat UGM Yogyakarta

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah, sekali lagi, dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 memberikan otoritas bagi DPD sebagai kamar kedua dalam lembaga perwakilan. Pengadilan konstitusi dalam kasus ini konsisten dalam keyakinannya.

Sekitar dua tahun lalu, melalui Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, Mahkamah mengangkat keberadaan DPD yang sempat dibuat "turun kursi" dengan undang-undang teknis tentang kelembagaan lembaga perwakilan. Dengan dua kali-dan hampir memiliki substansi yang sama-putusan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan UUD 1945, DPD ditasbihkan benar-benar sebagai kamar kedua dalam parlemen. Lalu, apa sejatinya kamar kedua dalam parlemen tersebut? Apa pula eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan?

Dalam perkembangan demokrasi, lembaga perwakilan berkamar lebih dari satu menjadi pilihan banyak negara. Fatmawati, dengan karyanya berjudul Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, menjelaskan tiga argumen tentang opsi membentuk lembaga perwakilan dengan dua kamar atau lebih. Pertama, kewenangan yang berbeda. Kedua, keanggotaan yang berbeda. Ketiga, struktur kelembagaan.

Perbedaan kewenangan atau fungsi ditujukan pada kekhususan masing-masing atau kolaborasi antarkamar. Urusan sangat fundamental yang dipegang oleh kekuasaan legislatif adalah pembentukan undang-undang, penyusunan anggaran, dan pengawasan eksekutif. Pembagian atau pemisahan kewenangan lembaga legislatif memiliki banyak varian dengan beberapa pembatasan. Meski memiliki banyak jenis, tujuannya satu, yakni membagi pengaruh legislatif ke lebih dari satu badan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Kamar dalam parlemen juga mencerminkan dari mana asal-muasal perwakilan datang. Kamar pertama yang mencerminkan representasi rakyat banyak-tanpa mengindahkan kedaerahan-cenderung didesain lebih besar. Kemudian, kamar kedua yang relatif lebih kecil daripada kamar pertama mengusung perwakilan daerah. Pola parlemen seperti ini, contohnya, dianut oleh parlemen Amerika Serikat. House of Representative mewujud sebagai kamar pertama dan Senate sebagai kamar kedua.

Di Indonesia, pola parlemen yang menganut lebih dari satu kamar-dengan mempertimbangkan MPR sebagai joint session-dinisbatkan ke DPR dan DPD. Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum" dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dengan tulisan "Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum" adalah ukuran konstitusional mendudukkan eksistensi lembaga perwakilan lebih dari satu kamar. DPR yang keanggotaannya mewakili penduduk dirancang lebih gemuk dengan jumlah 560 anggota. Lalu DPD yang menjadi perpanjangan tangan daerah ditentukan lebih kurus dengan empat orang wakil dari setiap provinsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembedaan ketiga antara kamar pertama dan kamar kedua dispesifikasi pada struktur kelembagaan. Distingsi ini bukan merujuk pada bagian per bagian di internal masing-masing kamar. Tapi, lebih ke sistem pengawasan antarkamar.

Giovanni Facchini dan Cecilia Testa dengan karyanya berjudul Theory of Bicameralism membeberkan konsep yang apik tentang pengawasan antarkamar. Dengan mengambil fakta Kongres Amerika Serikat, keduanya menyatakan, "Anggota kamar pertama yang dipilih secara langsung, memungkinkan kelompok penekan (pressure group) mempengaruhi mereka dengan menawarkan uang dan informasi apabila nantinya terpilih". Kamar kedua, Facchini dan Testa melanjutkan, "diciptakan untuk menghentikan potensi abuse of power dari kamar pertama".

Intinya, lanskap parlemen lebih dari satu kamar, salah satu tujuannya, adalah untuk mengurangi seminimal mungkin tirani parlemen. Filosofi kamar kedua sebagai penyeimbang kamar pertama ditekankan oleh James Madison dan Alexander Hamilton dalam The Federalist Paper nomor 62. Takdir awal kamar kedua adalah untuk mengawasi pemerintah dan mencegah ambisi korupsi yang mungkin timbul dari kekuasaan yang dipegang oleh kamar pertama.

Kamar pertama yang menerima mandat langsung dari rakyat-melalui pemilihan umum secara langsung-bisa jadi merasa istimewa dan melakukan tindakan yang ceroboh dan korup atas nama mewujudkan impian konstituen. Kamar kedua yang merepresentasi daerah mendapatkan jarak yang lebih jauh untuk berhubungan langsung dengan konstituen, sehingga memungkinkan anggota kamar kedua bersikap lebih obyektif dalam mengupayakan terealisasinya kemauan konstituen.

Ketatanegaraan Republik Indonesia yang lebih demokratis sebenarnya mampu mengapresiasi kehadiran kamar kedua agar lebih mengambil peran dalam mencegah tirani parlemen dan mengusahakan pengawasan yang komprehensif atas kepemimpinan eksekutif. Setidaknya, ada dua alasannya. Pertama, sejarah DPR Indonesia pada masa Orde Baru yang dianggap hanya sebagai stempel pemerintah, memungkinkan DPD mencegah terulangnya kembali sejarah kelam parlemen tersebut dengan fungsi dan kewenangan pengawasan oleh kamar kedua.

Kedua, DPR jika dianggap sebagai kamar pertama dan DPD sebagai kamar kedua, ditentukan oleh UUD 1945 bahwa anggota keduanya menjadi bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain itu, anggota DPR dan DPD sama-sama dipilih melalui pemilihan umum yang membuatnya mendapatkan pengakuan langsung dari representasi masing-masing. Kebijakan politik untuk mendistorsi fungsi dan kewenangan kamar kedua-melalui UU 17/2004-menjadi bagian terburuk dalam memangkas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Sesuatu yang harus dihindari apabila ingin konsisten bernegara hukum di bawah payung konstitusi. *

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Anggota DPR Nonton Video Porno, Arsul Sani: Sudah Cukup Sanksi Sosial

15 April 2022

Ilustrasi video porno atau video asusila. Freepik.com
Anggota DPR Nonton Video Porno, Arsul Sani: Sudah Cukup Sanksi Sosial

Arsul Sani mengatakan anggota DPR yang kedapatan menonton video porno sudah cukup mendapat sanksi sosial, tidak perlu lebih.


Dilaporkan ke MKD, Fahri Hamzah Janji Tak Akan Intervensi  

31 Januari 2017

Fahri Hamzah. TEMPO/Imam Sukamto
Dilaporkan ke MKD, Fahri Hamzah Janji Tak Akan Intervensi  

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dilaporkan ke MKD. Ia mengakui banyak dari rekannya yang menyarankan untuk berhenti bercuitan di Twitter.


Adukan Fahri Hamzah, Migrant Care: Istilah 'Babu' Tidak Etis  

27 Januari 2017

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah. Tempo/Tony Hartawan
Adukan Fahri Hamzah, Migrant Care: Istilah 'Babu' Tidak Etis  

Anis meminta Mahkamah Kehormatan DPR mempertimbangkan posisi Fahri sebagai Ketua Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia.


Fahri Hamzah Dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan DPR  

27 Januari 2017

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, memberikan keterangan pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 29 April 2016. Ia mengadukan Sohibul Iman, Surahman Hidayat, dan Hidayat Nur Wahid ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). TEMPO/Dhemas Reviyanto
Fahri Hamzah Dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan DPR  

Migrant Care memprotes cuitan Fahri Hamzah yang menyebut pembantu rumah tangga sebagai pengemis dan babu.


Ditahan Polisi, Ivan Haz Belum Dipecat dari DPR  

1 Maret 2016

Anggota DPR RI Fraksi PPP, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, 29 Februari 2016. Meski sejumlah awak media melontarkan pertanyaan di sepanjang jalan memasuki ruang pemeriksaan,   Ivan Haz mengunci mulutnya rapat-rapat dan tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya. TEMPO/Iqbal Ichsan
Ditahan Polisi, Ivan Haz Belum Dipecat dari DPR  

Pemecatan menunggu sidang panel MKD.


Usut Kasus Ivan Haz, Mahkamah Kehormatan DPR Bikin Tim Panel  

24 Februari 2016

Fanny Safriansyah alias Ivan Haz, menggelar Konferensi Pers di ruang Pers Fraksi PPP, Komplek Parlemen Senayan, 9 Oktober 2015. TEMPO/Mawardah Hanifiyani
Usut Kasus Ivan Haz, Mahkamah Kehormatan DPR Bikin Tim Panel  

Mahkamah Kehormatan Dewan membentuk Tim Panel guna mengusut kasus yang melibatkan anggota DPR dari PPP, Ivan Haz.


Setya Novanto Dilaporkan Lagi ke MKD, Apa Kasusnya?  

12 Januari 2016

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat (kedua kiri) berbincang dengan Wakil Ketua MKD Junimart Girsang (Kedua kanan) didampingi Wakil Ketua MKD Kahar Muzakir (kiri) dan Sufmi Dasco Ahmad (kanan) dalam sidang etik putusan MKD di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 16 Desember 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Setya Novanto Dilaporkan Lagi ke MKD, Apa Kasusnya?  

Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto membenarkan telah menerima surat dari Novanto.


Rhoma Irama Titip Pesan untuk Kasus Setya Novanto

14 Desember 2015

Raja dangdut, Rhoma Irama menyampaikan pidato politiknya dalam peresmian Partai Idaman (Islam Damai Aman) di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, 11 Juli 2015. Partai Idaman merupakan partai nasionalis dengan slogan menampilkan citra Islam yang rahmatan lil 'alamin. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Rhoma Irama Titip Pesan untuk Kasus Setya Novanto

Ketua Partai Islam Damai Aman, Rhoma Irama, mengaku mengikuti perkembangan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh Ketua DPR Setya Novanto.


Mahfud MD: Sudirman Said Juga Punya Kesalahan  

8 Desember 2015

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said memenuhi panggilan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, 7 Desember 2015. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Mahfud MD: Sudirman Said Juga Punya Kesalahan  

Mahfud MD menilai Sudirman Said juga melakukan dua kesalahan.


Pertaruhan Kehormatan Mahkamah Kehormatan Dewan

7 Desember 2015

Pertaruhan Kehormatan Mahkamah Kehormatan Dewan

Kehadiran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam sistem parlemen tak terlepas dari gejala pemurnian fungsi kelembagaan yang berkembang dalam sistem ketatanegaraan di republik ini. Hal itu terkait dengan pergeseran paradigma konstitusi dari sistem distribusi kekuasaan negara menjadi pemisahan kekuasaan negara yang sudah lama dipikirkan oleh para pemikir besar, seperti Immanuel Kant, John Locke, dan Montesquieu.