Husein Ja'far Al-Hadar, penulis
Insiden jatuhnya crane di Masjidil Haram ternyata bukan yang terakhir dalam musim haji kali ini. Selanjutnya, Mina berguncang. Tragedi seperti yang terjadi pada 1987, 1990, 1994, 1997, dan 2006 terjadi kembali di Mina 2015. Bahkan "Tragedi Mina 2015" ini termasuk yang terbesar kedua dalam sejarah tragedi di sana. Sekitar 717 anggota jemaah haji syahid dan 800 anggota jemaah haji lainnya luka-luka akibat tragedi itu.
Tentu, melihat tragedi itu, semua mata dan lensa kamera media sontak tertuju pada Arab Saudi sebagai tuan rumah. Apalagi Arab Saudi bukan hanya memilih, tapi juga tertutup kepada negara luar dalam pengelolaan haji dan pengurusan Mekah-Madinah. Jauh berbeda, misalnya, dengan Italia, yang memberikan kedaulatan (suci) kepada Vatikan. Dengan demikian, sudah sepatutnya bagi Arab Saudi untuk tak hanya meraup manfaat dari haji, tapi juga bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang terkait, termasuk tragedi kali ini. Walaupun tragedi itu, misalnya, disebabkan oleh pihak ketiga atau jemaah haji, tetaplah Arab Saudi yang harus pasang badan pertama dan terdepan. Setidaknya, itu dilakukan Negeri Padang Pasir itu dalam proses dan sampai investigasi rampung, sehingga bisa dievaluasi soal pertanggungjawaban tersebut.
Apalagi, secara mendasar, Arab Saudi telah lama dikritik berbagai pihak yang otoritatif dan kompeten dalam kaitan pengelolaan Mekah-Madinah yang dinilai cenderung metropolitanistik, kapitalistik, dan bertumpu pada paradigma Wahabisme (bukan Islam yang sebenarnya pemilik sejati Mekah-Madinah).
Pertama, Jerome Taylor dalam artikelnya di The Independent Inggris pada September 2011 menyebutkan Mekah telah diubah rezim Saud menjadi seperti Las Vegas. Bahkan paradigma metropolitanistik rezim Saud atas Mekah itu melampaui ciri yang dikemukakan Wackerman (2000). Wackerman yang mencirikan metropolitan sebagai kota dengan pernak-pernik festival dan wisata, masih menegaskan pentingnya peninggalan sejarah dan budaya di dalamnya. Sedangkan rezim Saud bukan hanya menggarap Mekah sebagai kota wisata dan festival, tapi juga (dengan) membuldoser seluruh peninggalan sejarah (Islam) di Mekah. Dr Irfan al-Alawi, Direktur Eksekutif The Islamic Heritage Research Foundation Saudi Arabia, menyebutkan bahwa selama 2011 saja telah ada 400-500 situs bersejarah (dan mungkin suci) bagi umat Islam dihancurkan dan dirusak untuk pembangunan. Akibatnya, sakralitas Mekah pun digadaikan untuk sebuah glamor. Bahkan hingga Irfan harus bertanya di The Guardian: "It is the end of Mekkah"? Akhir dari Mekah sebagai kota suci menjadi kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam.
Baca Juga:
Kedua, seperti ditulis Steve Carvell, profesor ekonomi keuangan di Universitas Cornell, Ka'bah kini telah dikelilingi ratusan hotel yang hendak "mencekik"--bukan memanjakan--jemaah haji. Pihak hotel itu bekerja sama dengan agen perjalanan haji dan umrah, serta semuanya diatur sedemikian rupa melalui permainan kuota dan visa oleh Kementerian Haji Arab Saudi, membuat berhaji berarti (dipaksa) berpelesir mewah dengan biaya mahal. Haji pun menjadi mahal karena tuntutan biaya hotel, akomodasi, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, sebagaimana ditulis Muhammad Michael Knight, warga Amerika Serikat (AS) yang masuk Islam, pada November 2012 dalam esai pendeknya yang berjudul Paris Hilton in Mecca, rezim Saud dinilainya berupaya keras melanggengkan konsumerisme di Mekah. Di sana bahkan dibangun sebuah toko milik sosialita Amerika Serikat (AS), Paris Hilton.
Ketiga, mengutip Sami Angawy, pendiri Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah, pola pandang metropolitanistik dan nafsu kapitalistik itu, yang paling utama dan mendasar, disebabkan ambisi Wahabisme yang memang penuh paradoks dalam ajarannya: ingin kembali ke masa lalu dalam Islam yang murni, namun anti-kebudayaan dan (peninggalan) sejarah. Sebagaimana ditunjukkan oleh komentar Grand Mufti Arab Saudi, Sheikh Abdul Aziz Bin Abdullah al-Sheikh, yang mengatakan bahwa menyucikan tempat-tempat tertentu adalah perbuatan syirik. Alih-alih doktrin Wahabisme itu yang menjadi legitimasi, tapi sebaliknya: nafsu kapitalistik dan paradigma metropolitanistik itulah yang justru menjadi legitimasi bagi ambisi monopolistik doktrin Wahabisme atas Mekah-Madinah dengan alibi kebutuhan haji dan umrah yang terus meningkat setiap tahunnya. Padahal, rezim Saud seharusnya sadar bahwa membangun Mekah seharusnya berarti membangun nilai. Tanpa nilai, Mekah dengan segala isinya justru masuk dalam apa yang dikhawatirkan Wahabisme: menjadi berhala yang mengarahkan peziarahnya pada kesyirikan.
Di samping itu, yang tak kalah memprihatinkannya, tragedi di Mina memicu tragedi yang tak kalah mengerikannya di Indonesia. Tragedi Mina menjadi komoditas di sini. Isunya ditarik ke sana-ke mari, dibalut dengan logika instrumental, tanpa data yang sahih maupun sumber yang jelas, untuk memuaskan nafsu sentimen sektarian yang beberapa tahun terakhir ini memang sedang akut di negeri ini. Entah bagaimana konstruksinya, ia tiba-tiba tersulap menjadi "monster" yang mengoyak-koyak persaudaraan kita sebagai sesama muslim di Indonesia. Konstruksinya bahkan melampaui imajinasi teori konspirasi. Iran, yang menjadi negara dengan korban terbesar dalam Tragedi Mina 2015 itu, justru dituduh sebagai dalang, untuk kemudian ujungnya lagi-lagi sentimen mazhab (Syiah) dan mengadu domba Sunni-Syiah di sini. Dengan demikian, pembicaraannya pun bukan lagi tentang "apa", melainkan "siapa". Alih-alih terjadi dialektika konstruktif guna menjadi sumbangsih dalam merancang solusi bagi tragedi semacam ini di tahun-tahun mendatang, ia justru memicu masalah baru yang tak kalah mengerikan: hujan fitnah, terkoyaknya ukhuwah Islam, dan tersemainya kebencian sektarian.