Sri Lestari Yuniarti, Alumnus University of Wollongong, Australia
Berita kekerasan terhadap anak kembali membetot perhatian khalayak. Sebagaimana diberitakan media massa, A (8 tahun), siswa kelas II SDN 07 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, meninggal akibat perkelahian dengan R (8 tahun), siswa kelas II di sekolah yang sama. Awalnya, R, yang terpancing emosi akibat saling ejek, memukul A hingga kesakitan dan dibawa ke puskesmas. Karena lukanya parah, A dirujuk ke rumah sakit, tapi malang, nyawa A tidak tertolong dan akhirnya meninggal pada sore harinya.
Kejadian tersebut sepatutnya menjadi bahan refleksi kita semua. Mengingat peristiwa tersebut terjadi di sekolah, maka sekolah mendapat tamparan yang pertama. Apa yang semestinya sekolah lakukan sehingga kekerasan (bullying) bisa dikurangi?
Piket guru, peran wali kelas, kepala sekolah, dan warga sekolah lain (dalam hal ini siswa dan guru) yang melihat kejadian tersebut semestinya melakukan upaya penanganan masalah. Banyak sekolah yang berlabel unggulan, pembina, percontohan, national plus atau Satuan Pendidikan Kerja Sama (menggantikan label sekolah internasional) yang telah memiliki mekanisme penanganan masalah yang terkait dengan kesiswaan atau persekolahan pada umumnya.
Mekanisme ini biasanya terangkum dalam paket informasi mengenai kebijakan sekolah. Paket ini biasanya dibagikan kepada seluruh orang tua murid pada awal tahun ajaran sekolah. Berbarengan dengan dibagikannya paket informasi tersebut, dilakukan juga pemaparan program sekolah dan diskusi. Ada juga sekolah yang menamakannya dengan prosedur tetap (standard operating procedure). Apa pun namanya, perangkat ini harus dimiliki sekolah dan diterapkan dengan konsisten.
Demikian kurang-lebih standar pengelolaan pendidikan sebagaimana yang dimandatkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 32 Tahun 2013.
Tidak bisa ditampik, sekolah memang sudah dibebani dengan ketatnya target ketuntasan materi pelajaran. Namun jangan dilupakan bahwa sekolah juga merupakan agen bagi internalisasi karakter baik, budaya berprestasi, dan memelihara anak untuk selalu sehat dan bugar.
Peristiwa kekerasan terhadap anak juga pasti menjadi tamparan keras bagi orang tua. Bagi orang tua korban, duka yang mendalam manusiawi jika disertai dengan penyesalan. "Coba kalau selama ini banyak dekat dengan anak-anak, sehingga bisa mendengar celoteh polos mereka, keluhan mereka tentang teman-teman mereka, kesulitan-kesulitan yang ternyata selama ini mereka hadapi di sekolah mereka... Kalaupun tidak bisa membantu menyelesaikan persoalan anak-anak seluruhnya, setidaknya dengan pelukan hangat orang tua bisa meringankan beban mereka." Jangan biarkan anak-anak kelaparan perhatian orang tua atau keluarganya sendiri.
Perhatian orang tua juga mesti dialamatkan pada gempuran budaya hedonistis sekarang ini-yang salah satunya efek dari kehadiran gawai (gadget). Anak lebih tunduk kepada seperangkat dogma yang dipaparkan melalui gadget daripada orang tuanya sendiri. Mereka lebih suka berlama-lama merawat pertemanannya di dunia maya daripada merawat hubungan kasih sayang dengan keluarganya sendiri. Mereka lebih giat menekuni online game daripada menekuni bahan pelajaran sekolah atau pekerjaan di rumahnya. Mereka lebih taat pada "aturan" cara berperilaku yang didiktekan oleh game atau film daripada aturan berakhlak yang telah diajarkan agama dan masyarakat.
Menjadi sangat mungkin jika peristiwa kekerasan terhadap anak adalah perilaku meniru apa-apa yang disaksikan anak-anak di gadget-nya. Selain itu, kebiasaan berlama-lama asyik dengan gadget-nya menjadikan anak kehilangan saluran dalam melepas energinya. Padahal anak perlu bermain!
Jangan pernah lupakan pentingnya bermain bagi anak-anak. Bermain tidak hanya berfungsi untuk menyalurkan tenaga, tapi juga mendukung anak mengembangkan banyak keterampilan yang penting untuk bekal hidupnya. Bermain adalah perkara mengembangkan keterampilan motoriknya. Ketika dilakukan bersama teman-temanya, bermain menjadi media belajar keterampilan bersosialisasi, berbahasa. Bermain juga membuat anak mampu membangun dan menaati aturan main, mengembangkan kepercayaan diri, terutama ketika anak mampu menyelesaikan permainannya dengan memuaskan.
Peristiwa ini semestinya juga menjadi peringatan bagi orang tua agar segera bangun dari ketidaksadaran atas pentingnya pola pengasuhan yang baik. Pola pengasuhan yang baik adalah pola yang diterapkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya dengan tujuan terbangunnya karakter dan akhlak baik anak, dilandaskan pada nilai-nilai luhur agama dan masyarakat, dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan anak dan konsisten.
Jika memakai analogi bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan, ayah adalah figur kepala sekolahnya dan ibu sebagai gurunya. Ayah yang memimpin keluarga dengan visi dan misi yang dibangun bersama dengan guru. Visi, misi, dan strategi pencapaiannya menjadi cetak biru keluarga. Mau menjadi apa anak-anak mereka terekam dalam cetak biru itu.
Meski tidak harus tertulis, keluarga juga harus memiliki prosedur tetap. Prosedur tentang bagaimana kedisiplinan keluarga ditegakkan yang terkait dengan kegiatan keluarga sehari-hari, bagaimana pembiasaan karakter baik hingga prosedur menggunakan gadget. Meski demikian, keterbukaan dan kehangatan komunikasi harus juga menjadi semangat dalam mendidik anak. *