Menyaksikan pemerintah membuka keran impor ikan sebanyak 2.000 ton membuat kita mengelus dada. Apalagi, kebijakan itu dilakukan setelah pemerintah gembar-gembor melontarkan perang terhadap kapal-kapal pencuri ikan dan berkomitmen membangun industri perikanan di Tanah Air.
Dalih Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, bahwa izin impor itu dibuka untuk mengatasi kekurangan bahan baku industri pengolahan di dalam negeri, sungguh tak masuk akal. Sebab, sebelumnya, Menteri Susi pulalah yang mengatakan ketersediaan ikan di dalam negeri berlimpah setelah kapal-kapal pencuri ikan ditenggelamkan atau diusir. Hal itu juga dikuatkan oleh data kantor Biro Pusat Statistik, yang pada April lalu menyatakan terjadi deflasi 0,45 persen, dengan penyumbang deflasi adalah kelompok bahan makanan, termasuk ikan segar dan ikan olahan.
Kebijakan impor tersebut jelas bertolak belakang dengan janji pemerintah belakangan ini. Sejumlah anggota Komisi IV DPR, yang membidangi masalah perkebunan, pertanian, dan perikanan, juga mempersoalkan kebijakan ganjil Susi itu.
Langkah tegas pemerintah membasmi praktek penangkapan ikan liar rupanya tidak diikuti pembangunan sarana penunjangnya. Ikan di laut makin berlimpah, tapi sistem distribusi ikan dari laut ke sentra industri pengolahan masih terhambat lantaran minimnya armada kapal pengangkut. Akibatnya, industri pengolahan ikan kekurangan bahan baku.
Menteri Susi tak boleh mengeluarkan kebijakan yang sepotong-sepotong demi membenahi industri perikanan. Dia perlu menata ulang sarana penopang industri perikanan dari hulu hingga hilir. Untuk mendorong distribusi ikan dari sentra produksi di Aceh, Sumatera, Papua, dan Papua Barat, misalnya, dibutuhkan sekitar 20 kapal pengangkut, sehingga bisa menyalurkan lebih dari 2.000 ton ikan per bulan. Tapi sepanjang Januari-Juni 2016, dari 20 kapal yang dibutuhkan, Kementerian Kelautan baru menerbitkan izin untuk tiga unit kapal angkut bagi Perum Perikanan Indonesia.
Kebijakan impor ikan seharusnya dihentikan karena mudaratnya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya. Semestinya Menteri Susi mafhum, di balik impor ikan, Indonesia hanya menjadi tempat "pencucian ikan". Hal itu terjadi lantaran banyak negara tetangga yang kesulitan mengekspor ikan mereka ke negara Eropa karena negara tersebut terkena sanksi "kartu kuning". Ikan itu kemudian dikirim ke Indonesia, lalu diekspor ke Eropa seolah-olah berasal dari negeri ini. Jika praktek ini terus berlangsung, Indonesia juga bisa terkena sanksi kartu kuning dari negara-negara Eropa.
Bahaya lain dari impor ikan ini adalah membanjirnya ikan asing di pasar lokal. Hal itu bisa terjadi mengingat lemahnya pengawasan pemerintah selama ini. Situasi tersebut juga akan berdampak terhadap nelayan dan industri perikanan kita.
Jadi, membuka keran impor ikan-apalagi jenis ikan yang diimpor banyak terdapat di laut kita- jelas kurang tepat. Saat ini sudah ada 23.652 ton ikan yang masuk ke Indonesia dari Januari hingga April. Kebijakan itu merupakan ancaman nyata bagi nelayan dan industri perikanan Indonesia.