Pemerintah mesti waspada melihat realisasi pendapatan dan belanja negara selama lima bulan pertama tahun ini. Realisasi penerimaan jauh di bawah realisasi belanja. Defisit sementara memang masih di bawah pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Persoalan tersebut harus diatasi karena akan menimbulkan persoalan lain yang lebih rumit, di antaranya penambahan utang.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi pendapatan negara dan hibah baru mencapai Rp 496,6 triliun atau 27,2 persen dari target APBN 2016. Sedangkan realisasi belanja negara mencapai Rp 685,8 triliun atau 32,7 persen dari pagu. Terjadi defisit sementara sebesar Rp 189 triliun atau 1,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Paparan data tersebut mencemaskan. Penerimaan pajak selama Januari-Mei itu kalah tinggi dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Padahal banyak kebijakan perpajakan yang diusulkan pada awal tahun lalu yang tak jadi dilaksanakan. Misalnya, pengenaan pajak pertambahan nilai atas tarif jalan tol dan kenaikan bea meterai. Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang semula ditargetkan pada November 2015 juga batal.
Melihat kembali penerimaan pajak selama tiga tahun sebelumnya, tampak pemerintah kian kedodoran mengejar target pajak. Pada 2013, realisasi penerimaan pajak masih 92 persen, sedangkan pada tahun lalu posisinya sudah di level 82 persen. Ini merupakan pencapaian terendah dalam tujuh tahun terakhir.
Tentu saja penurunan pencapaian target ini bukan semata-mata akibat ketidakbecusan aparat pajak. Ada faktor eksternal yang mempengaruhinya: perlambatan ekonomi dunia. Tahun ini kondisinya tak jauh berbeda. Dana Moneter Internasional (IMF) pada April lalu mengoreksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,4 persen menjadi 3,2 persen. Artinya, risiko eksternal tahun ini juga masih tinggi.
Melihat fenomena global, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3 persen bisa jadi terlalu tinggi. Jika ekonomi tumbuh lebih rendah, target pajak harus diturunkan. Dua pekan lalu, melalui RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, pemerintah mengoreksi target pajak menjadi Rp 1.343 triliun. Namun target itu masih terlalu optimistis karena memasukkan hasil program pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun. Di banyak negara, kebijakan ini tak selalu diikuti repatriasi dana wajib pajak di luar negeri.
Belum lagi soal ruang fiskal pemerintah yang terbatas. Selama kurun 2015-2020, belanja wajib (mandatory spending) dalam anggaran mencapai 77-80 persen. Belanja wajib itu antara lain: anggaran pendidikan, kesehatan, transfer daerah dan dana desa, serta pembayaran utang. Dengan ruang fiskal tersisa hanya 20-23 persen, tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah.
Karena itu, rendahnya realisasi penerimaan pajak akan sangat berdampak pada APBN-P 2016. Pemerintah harus mengetatkan ikat pinggang dengan memangkas belanja yang tidak perlu. Ada pilihan lain, yakni berutang. Tapi, dalam jangka panjang, kebijakan gali lubang-tutup lubang tak akan sehat bagi negara ini.