Polemik tentang ada-tidaknya indikasi korupsi dalam pengadaan lahan Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tak perlu lagi diperdebatkan. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pembelian 3,6 hektare tanah senilai Rp 755 miliar oleh pemerintah DKI pada 2014 itu tidak memenuhi unsur korupsi. Semua pihak seharusnya menghormati hasil penyelidikan Komisi dan tak lagi mencari-cari alasan untuk menyalahkan pemerintah DKI dalam kasus tersebut. Terlebih, sejak awal, ada indikasi politik di balik mengemukanya kasus ini dengan tujuan menjatuhkan posisi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah tahun depan.
Awalnya, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dan sekelompok masyarakat melaporkan dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras ke KPK. Dasarnya, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan wilayah Jakarta pada 2015 yang intinya menemukan kerugian negara hingga Rp 191,3 miliar dalam pembelian lahan itu. BPK meyakini lahan rumah sakit tersebut berdiri di tepi Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat, yang nilainya Rp 7 juta per meter persegi. Di obyek yang sama, auditor BPK juga membandingkan harga pembelian pemerintah DKI yang jauh lebih tinggi dari penawaran PT Ciputra Karya Utama pada 2013 yang hanya Rp 564 miliar. Selisih antara harga beli dan penawaran inilah yang kemudian menjadi acuan dugaan kerugian negara.
Menerima laporan itu, KPK meminta BPK kembali melakukan audit investigasi atas transaksi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Hasilnya sama dengan audit BPK Jakarta. Penyelidik KPK tak begitu saja percaya. Mereka meminta keterangan dari pihak terkait, seperti Gubernur Basuki beserta anak buahnya dan para pelapor, termasuk akademikus. Dari situ, KPK menyimpulkan tak ada indikasi korupsi. Ihwal harga tanah yang lebih mahal, KPK menerima alasan pemerintah DKI yang berpatokan pada surat pajak yang menyatakan lahan rumah sakit itu terletak di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, dengan nilai Rp 20 juta per meter persegi.
Jernihnya persoalan jual-beli lahan Sumber Waras ini seharusnya menjadi momentum bagi BPK dan pemerintah DKI untuk memperbaiki diri. DPR mendesak pemimpin BPK diganti karena ceroboh membuat audit. BPK sendiri telah mencopot Efdinal, Kepala BPK Jakarta, saat audit Sumber Waras keluar, meski disebutkan tak ada pelanggaran kode etik dan membenarkan hasil auditnya. Adapun pemerintah DKI seharusnya menjelaskan perihal tiga indikasi pelanggaran administrasi dalam pembelian tanah Sumber Waras. Yakni, transaksi belum diatur peraturan daerah, konsultasi publik dibuat setelah transaksi, dan melanggar aturan pengadaan tanah. Siapa pun yang sengaja melanggar prosedur dengan maksud tertentu harus diberi sanksi.
Baca Juga: