Usul Kementerian Pertahanan untuk membentuk Badan Intelijen Pertahanan tak layak diterima. Usul itu tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Tugas lembaga baru ini juga akan tumpang-tindih dengan lembaga telik sandi yang sudah ada. Lagi pula, pada masa harus berhemat seperti sekarang, apa urgensinya membentuk lembaga telik sandi baru?
Rencana pembentukan badan intelijen itu dikemukakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 4 Maret lalu. Ryamizard beralasan lembaga tersebut diperlukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang akan menjadi dasar pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan strategis.
Ryamizard membayangkan badan intel baru itu akan diisi kumpulan ahli yang akan menggali dan mengolah berbagai data, termasuk dari lembaga intelijen lain. Informasi itulah yang kemudian dipakai pemerintah untuk merumuskan kebijakan pertahanan, khususnya di bidang non-militer.
Pembentukan Badan Intelijen Pertahanan tersebut tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Meski demikian, Kepala Badan Instalasi Strategis Nasional Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Paryanto, menyebutkan Menteri Pertahanan punya kewenangan eksekutif untuk membentuknya dengan alasan demi menjaga pertahanan bangsa. Ia juga beralasan, kalaupun UU Intelijen tidak mengaturnya, bukan berarti ada larangan membentuk lembaga baru.
Logika itu sulit diterima. Dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan sudah diatur bahwa tugas utama Menteri Pertahanan adalah membuat kebijakan. Jika Kementerian Pertahanan membentuk lembaga intelijen, ini sudah masuk ranah operasional, bukan lagi sekadar kebijakan.
Kementerian beralasan, mereka mengacu ke Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2015 tentang Kementerian Pertahanan. Pasal 2 peraturan itu memberi ruang bagi Kementerian, termasuk untuk bergerak ke level operasional. Di sana dinyatakan tugas Kementerian Pertahanan adalah "menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara". Alasan ini pun patut ditolak. Isi pasal itu bertentangan dengan undang-undang yang posisinya lebih tinggi, sehingga tak bisa digunakan. Bahkan perpres itu semestinya segera dicabut.
Ada alasan lain mengapa lembaga baru itu patut ditolak, yaitu efisiensi. Presiden Joko Widodo telah menyatakan pemerintah akan membangun birokrasi yang efisien dan ringkas. Membentuk lembaga baru yang fungsinya sudah ada di lembaga lain merupakan pemborosan.
Ketimbang membentuk lembaga baru, lebih baik Kementerian Pertahanan meningkatkan kerja sama dengan lembaga intelijen yang sudah ada. Bukankah kita sudah memiliki Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Intelijen Negara (BIN), dan intelijen di instansi penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian?