Aliansi Jurnalis Independen Jakarta menyodorkan gagasan menarik. Setelah melakukan riset, lembaga ini mengusulkan pembentukan Dewan Rating untuk program siaran televisi. Tugasnya, membuat standar minimal dan prosedur pelaksanaan pemeringkatan televisi, mengaudit, serta mengakreditasi perusahaan penyelenggara rating.
Usul ini layak diperhatikan karena rating mempengaruhi dua pihak yang berkepentingan sekaligus. Bagi perusahaan media, pemeringkatan menjadi penentu hidup-matinya sebuah program siaran. Program dengan rating jeblok harus cepat-cepat disetop lantaran tidak disukai pengiklan.
Bagi penonton, rating menentukan jenis tayangan yang hendak mereka tonton. Sebab, stasiun televisi berlomba-lomba memproduksi tayangan dengan resep sama, demi mengekor tayangan yang memiliki rating tinggi. Akibatnya, jenis tayangan di berbagai stasiun televisi cenderung seragam.
Persoalan muncul karena tingginya pengaruh rating tidak diimbangi dengan struktur industrinya. Karena jumlah pemainnya terbatas di Indonesia bahkan hanya satu perusahaan--karakter industri penyelenggara rating cenderung monopolistik. Ditambah tak adanya lembaga yang berwenang menguliti isi perut perusahaan rating, transparansi dan akuntabilitas hasil rating dipertanyakan.
Salah satu metodologi pemeringkatan yang juga sering dipersoalkan adalah tingkat ketersebaran sampel. Selama belasan tahun penyelenggara rating melakukan survei secara terbatas di kota-kota besar, dengan sebaran terbesar di Jakarta. Mudah diduga, hasil yang tecermin pada rating merupakan selera kota-kota besar, yang belum tentu sesuai dengan kota-kota lainnya.
Ketimpangan ini dikhawatirkan memunculkan dominasi budaya-seperti gaya hidup kota besar yang konsumtif dan menyeragamkan budaya Indonesia yang majemuk. Belum lagi pertanyaan mengenai profil penonton yang direkam oleh perangkat people-meter milik penyelenggara rating. Apakah responden yang disasar adalah orang dengan tingkat pendidikan yang memadai atau tidak.
Karena besarnya pengaruh rating, tidak salah jika masyarakat menuntut penyelenggaranya menginformasikan secara terbuka ihwal metodologi pengukuran. Metode yang dipakai harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan terpenuhinya prinsip transparansi dan akuntabilitas, pengguna data dan publik akan percaya pada data rating. Kecurigaan mengenai cacat metode pun bisa dikurangi.
Bila tidak ada inisiatif dari industri untuk membuat Dewan Rating, negara bisa berinisiatif mendirikan Dewan Rating yang beranggotakan perwakilan pengguna data rating, Komisi Penyiaran Indonesia, kelompok masyarakat, dan akademikus. Argumentasinya, penyiaran menggunakan frekuensi publik sehingga negara berhak mengatur penyelenggara rating.
Dengan proses yang transparan, hasil pemeringkatan tayangan televisi akan bisa dipercaya. Hal itu mendorong lahirnya program siaran berkualitas.