Putu Setia
Piala Eropa segera memasuki semifinal. Babak yang menghibur jutaan penduduk negeri ini. Tinggal menunggu pertandingan Inggris melawan Italia esok dinihari, keempat tim yang lolos ke semifinal pasti akan diperbincangkan habis-habisan di media massa, televisi, gardu ronda, juga di tempat pemancingan. Penduduk negeri ini penggila bola, meskipun tak pernah punya tim nasional yang bisa "digilakan".
Akan bermunculan banyak komentator yang memamerkan kepiawaiannya dalam menganalisis tim yang berlaga. Andaikata ada survei internasional negeri mana yang penduduknya paling banyak melahirkan komentator sepak bola, jawabannya: Indonesia. Lebih hebat lagi, mereka datang dari berbagai kalangan. Ada artis, politikus, mantan atlet, pengusaha, pengamat politik. Mereka penuh percaya diri, sepertinya paham berbagai kendala yang dihadapi tim yang sedang bertanding, melebihi pelatih tim itu. Luar biasa.
Cuma saja, saya pikir mereka perlu belajar etika jika bicara di depan umum, bukan di kolam pemancingan. Jangan sok tahu, sok paham, sok ngerti strategi. Saya sering malu mendengarnya sehingga, saat jeda permainan dan komentator mengambil-alih siaran, saya menjauhi televisi. Misalnya ucapan begini: "Kenapa pelatih itu menurunkan dia, mestinya si anu diturunkan. Polanya jangan 4-4-2, itu tak cocok, harusnya 4-3-3. Jangan bertahan, serang dari sayap kiri. Jerman harus mematikan Ronaldo jika mau mengalahkan Portugal."
Kok bisa ngomong begitu, padahal ribuan kilometer jarak Jakarta dengan Warsawa. Apa mereka pernah datang ke Eropa, bergaul dengan pemain, memahami apa kendala yang dihadapi tim sebagaimana pelatih yang diomeli itu? Menurut saya, komentator itu harus tahu tata krama, misalnya: "Kenapa pelatih itu menurunkan dia? Menurut saya, si anu lebih baik. Kenapa strateginya dengan pola itu? Menghadapi tim ini, sebaiknya ganti pola."
Sudahlah, barangkali ini memang tabiat orang kita. Dari dulu sudah ada pemeo di kalangan sepak bola: penonton lebih pinter dibanding pelatih dan pemain. Dari sini muncul pula istilah: berkomentar jauh lebih mudah daripada melaksanakan. Kemudian peribahasa menampungnya dengan kalimat "lidah memang tak bertulang".
Yang jadi persoalan, gaya komentator bola seperti itu sekarang merambat ke berbagai bidang. Orang-orang yang muncul di televisi dan media massa, yang diistilahkan sebagai narasumber, meniru "kesombongan" komentator bola. Mereka mengadu kevokalan, bukan argumentasi. Keselebritasannya lebih diutamakan ketimbang wawasan dan integritasnya.
Contoh kecil, pimpinan KPK menjelaskan bagaimana Neneng Sri Wahyuni ditangkap di rumahnya di Pejaten. Saat bersamaan, seorang "komentator" ngotot Neneng menyerahkan diri sambil ngeledek dengan menyebut pimpinan KPK sedang mementaskan ludruk. Lo, yang turun ke lapangan siapa?
Pidato SBY di depan pendiri Partai Demokrat dikomentari berhari-hari. Padahal itu urusan intern partai yang tak ada pentingnya bagi rakyat. Anas Urbaningrum terus-menerus "diomongin" kenapa belum mundur, kenapa belum diperiksa, sementara di lain pihak KPK harus diperkuat dan dipercaya. Kalau begitu, serahkan pada KPK dong, kenapa ribut?
Negeri kita sekarang dibisingkan oleh suara komentator. Sungguh tak sehat karena perbincangan berputar di masalah kekuasaan, tak berurusan dengan perut rakyat. Yang dibutuhkan rakyat sederhana, misalnya bagaimana di tanah yang subur ini bisa dihasilkan buah yang ranum, lalu bisa dijual di pasar. Aneh, negeri gemah ripah loh jinawi ini ternyata dipenuhi buah dari negara jiran. Kok tak ada komentator buah?