Putu Setia
Dalam hitungan hari, Jakarta akan memilih gubernur. Bisa jadi gubernur yang lama terpilih kembali, bisa pula gubernur dari provinsi lain terpilih di Jakarta, atau seorang wali kota di Jawa menjadi Gubernur Jakarta. Semuanya tidak pasti, termasuk apakah calon gubernur yang tak didukung partai politik bisa menjadi gubernur.
Siapa yang akan Mama pilih? Pertanyaan ini saya ajukan kepada "mantan ibu kos" yang sampai kini tetap saya panggil Mama. Dia tinggal di kawasan Warung Buncit. "Saya pilih semuanya. Orang Jakarta harus cerdas. Biarkan ada banyak gubernur," ini jawaban Mama.
Pilihan ini tentu tak masuk akal, jauh pula dari cerdas. Namanya saja pemilihan, dari keenam pasangan harus ada yang dipilih. Tapi Mama ngotot, "Jakarta tak bisa maju kalau dipimpin oleh sepasang calon. Semua pasangan harus naik."
Ternyata Mama serius dengan pendapatnya ini, yang tentu saja sangat tidak normal. Kata dia, kalau enam pasangan itu semuanya diangkat sebagai gubernur dan wakil gubernur, uang untuk membayar gaji mereka tak banyak. Mereka sudah kaya, terbukti ongkos kampanyenya begitu besar, yang tak mungkin akan kembali dengan pendapatan gaji yang normal. Mereka sebenarnya tak mencari gaji dengan jabatan gubernur, melainkan mencari gengsi.
Lagi pula--ini masih pendapat Mama--dengan punya enam gubernur dan enam wakil gubernur, warga Jakarta akan menikmati masa kejayaannya dan segera mengalami kesejahteraan yang luar biasa. Tak akan ada lagi daerah kumuh, tak ada fakir miskin dan gelandangan, tak ada wilayah yang kebanjiran, tak ada jalan yang macet, serta tak ada perampokan, prostitusi, dan perjudian. Pemerkosaan, apalagi di angkutan kota, itu jadi dongeng masa lalu.
Gubernur Fauzi Bowo meneruskan program lamanya mempercantik Jakarta sebagai kota paling modern di dunia. Gubernur Hendardji mempersolek wilayah yang kumuh, akan sulit mencari orang yang tidur di rumah kardus. Gubernur Joko Widodo membangun rumah susun dan menertibkan pedagang kaki lima, tak mungkin lagi ditemukan orang berjualan di trotoar. Gubernur Hidayat Nur Wahid, wah ini dia, menjadikan Jakarta kota religius, semua orang taat beragama, yang muslim silakan ke masjid, yang Kristen kebaktian di gereja, tak ada menggunakan trotoar untuk kebaktian. Gubernur Alex Noerdin membuat Jakarta bebas macet, bahkan jika perlu jalanan dibikin lengang seperti di pedalaman Sumatera Selatan. Sehari setelah dilantik, Gubernur Alex membebaskan warga dari biaya rumah sakit, tak lagi membayar uang sekolah, jangan-jangan rakyat juga digaji. "Kenapa gubernur dipilih? Supaya adil, ditetapkan saja seperti di Yogyakarta, dan untuk Jakarta sekalian ditetapkan enam pasangan itu," kata Mama.
Saya memotong, takut Mama nyerocos terus, "Ma, kok Faisal Basri dilewatkan?" Mama tertawa, "Eh, lupa, habis iklannya jarang ada di TV." Segera Mama nyerocos, "Gubernur Faisal akan mengajak semua pegawai dan pengusaha bekerja dengan jujur dan tidak korupsi. Kalau tak ada dana, saweran seperti membangun gedung KPK itu. Nah, klop, Jakarta gemerlap, warganya sejahtera, jalannya lengang, aman tenteram tak ada penjahat karena semua warganya religius."
Saya seperti terhipnotis, membayangkan suara azan beradu keras di waktu subuh, bagaikan simfoni menyongsong alam surgawi di Jakarta yang religius ini. Tapi, bagaimana kalau semua janji calon gubernur itu tak terbukti? "Gantung mereka di Monas, jangan pelihara penipu busuk, biarkan dia jadi hantu," ceplos Mama. Indri, sang cucu yang sedari tadi diam, ikut nyeletuk, "Wah, bisa-bisa kita dipimpin Gubernur Hantu, nih."