Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Fotografer Pandji Vasco Da Gama baru saja membentangkan karyanya di Balai Soedjatmoko, Solo, untuk diapresiasi khalayak pada awal Oktober. Melalui bidikan kameranya, lelaki ini hendak menyihir pengunjung supaya peduli terhadap nasib heritage pabrik gula Colomadu yang berada di ambang kehancuran. Heritage yang dibangun Praja Mangkunegaran ini tak hanya memuat sejarah industri gula dan kemandirian ekonomi kaum pribumi, tapi juga berjalin dengan perkembangan olahraga sepak bola di Kota Solo.
Pada awal abad XX, penguasa Mangkunegaran berusaha memajukan "bal-balan"—demikian istilahnya—di tlatah Surakarta. Olahraga ini diminati baik oleh masyarakat dari semua lapisan. Ada tim kesebelasan Romeo berisi aristokrat Keraton Kasunanan, Mars beranggotakan pegawai kolonial Belanda (ambtenar), buruh cap batik Laweyan beserta putra juragan mendirikan De Leeuw, dan remaja Muhammadiyah bergabung dalam Hisboel Waton (HW). Lalu hadir Vorstenlandsche Voetbal Bond dan Solosche Voetbal Club yang mengurusi beberapa tim kesebelasan pribumi serta rutin menggelar kap-kapan (pertandingan). Suasana wilayah kerajaan kian gayeng berkat permainan yang satu ini.
Mangkunegara VII (1916-1944) mengggelontorkan ragat untuk pengembangan sepak bola demi menyegarkan relasi gusti-kawula dan menyuburkan nasionalisme (Jawa). Saking asyiknya bermain bola, penduduk diharapkan menjauhi aktivitas politik menentang pabrik dan pemerintahan Mangkunegaran.
Studi Wasino (2011) mengungkap, raja menitahkan bawahannya mencari lahan untuk lapangan bola. Administratur pabrik gula Colomadu meminjamkan sepetak tanah untuk itu. Lantas bermunculan tim sepak bola dari tingkat kabupaten hingga desa, seperti Pakempalan Voetbal Roekoen. Roekoen adalah singkatan dari Roemagang Kanthi Oetamaning Nalar, yang berarti "berbuat atas dasar pikiran yang baik". Perkumpulan itu berada di Desa Tohudan, dekat pabrik gula Colomadu. Raja juga mengeluarkan piala yang diperebutkan seluruh tim.
Berbagai kompetisi digeber sampai penjajah Jepang masuk mengangkangi Hindia-Belanda. Gusti yang berotak brilian ini menilai pertandingan sepak bola merupakan wadah bagi para kawula dapat bersemuka dan doktrin nasionalisme Jawa mengakar.
Bal-balan di Solo tempo doeloe bukan sekadar hiburan dan golek kringet. Ia menjadi jalan politik untuk menangkis serangan pemerintah kolonial Belanda yang berpotensi melemahkan kekuasaan tradisional raja. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang karut-marut perlu berkaca pada Mangkunegaran guna membangun integritas pengurusnya. Sejarah selalu aktual, bukan?