Langkah Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol di perairan Natuna, pekan lalu, bisa disebut cukup efektif untuk menunjukkan kedaulatan kita atas wilayah itu kepada pemerintah Cina. Sepekan sebelumnya, kapal penjaga pantai negeri itu masuk ke wilayah Kepulauan Riau tersebut untuk memaksakan pembebasan kapal nelayan mereka yang ditangkap karena mencuri ikan.
Tiongkok berdalih perairan Natuna merupakan wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. Itu sebabnya, kapal penjaga pantai mereka dengan seenaknya menerobos masuk dan "merebut" kapal pencuri ikan yang berada dalam kawalan kapal patroli Kementerian Kelautan-sama dengan yang terjadi pada Maret lalu.
Pencurian ikan selama ini telah membuat negara rugi setiap tahun sekitar Rp 300 triliun. Dengan jumlah armada penjaga laut dan persenjataan yang terbatas, wilayah laut Indonesia selama ini bak gudang harta karun tanpa penjagaan. Para penjarah dengan mudah keluar-masuk perairan Indonesia.
Karena itu, salah satu cara membasmi para perampok ikan adalah sikap tegas pemerintah. Sikap itu antara lain diwujudkan dengan penambahan armada penjaga laut, termasuk berani melawan siapa pun yang masuk perairan Indonesia tanpa izin. Itulah yang terjadi pada pekan lalu. Armada kita berhasil menghalau kapal penjaga pantai Cina.
Selain tegas terhadap pelanggar perbatasan, hal yang perlu dilakukan Jokowi adalah segera mewujudkan janji membangun daerah perbatasan dan meningkatkan kesejahteraan penghuninya. Kawasan terluar Indonesia itu selama ini memang terabaikan.
Di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, misalnya, masyarakat lebih akrab dengan ringgit Malaysia ketimbang rupiah. Hal ini karena pasokan kebutuhan hidup mereka selama ini datang dari seberang. Untuk membeli barang-barang itu, mau tak mau mereka memakai ringgit.
Demikian pula dalam soal sarana dan prasarana. Wilayah itu tertinggal jauh dibanding "tetangga". Warga desa di perbatasan Kapuas Hulu, misalnya, lebih mudah menjangkau daerah Lubuk Antu, Malaysia, ketimbang ibu kota kecamatan mereka. Hal itu, lagi-lagi, karena transportasi ke Lubuk Antu jauh lebih baik.
Kondisi memprihatinkan juga dapat ditemui di pulau-pulau terluar kita-"beranda" negeri ini. Infrastruktur nyaris tak ada di sekitar 92 pulau terluar ini, yang terbentang dari Pulau Arakula yang berbatasan dengan Australia, Liki yang bersebelahan dengan wilayah Papua Nugini, Bangkit di dekat Filipina, hingga Pulau Batu Mandi di perbatasan dengan Malaysia.
Pada awal pemerintahannya, Jokowi menyatakan menyediakan dana Rp 14 triliun untuk memajukan wilayah terluar. Anggaran besar ini berada di berbagai kementerian. Tapi, hingga kini, realisasi program tersebut tak berjalan. Kawasan yang oleh Presiden disebut sebagai "martabat kita" itu tak banyak berubah.
Jokowi mesti segera merealisasi janjinya memajukan daerah terluar kita ini. Bukan hanya karena pembangunan tersebut demi kesejahteraan mereka. Tapi, lebih dari itu, inilah salah satu cara menjaga kedaulatan negeri ini. Mereka, para penduduk pulau terluar itu, merupakan bagian dari "pertahanan" negeri ini.