Mabes Polri membongkar jaringan peredaran vaksin palsu. Hingga pekan lalu, setidaknya ada lima vaksin yang diduga sudah dibuat tiruannya. Temuan ini mengkhawatirkan bukan hanya karena dampak bahaya vaksin palsu itu bagi kesehatan pasien, tapi juga lantaran distribusinya meluas ke seluruh Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan, vaksin palsu ini ditemukan di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen Agung Setya, saat mengumumkan kasus ini pada Kamis pekan lalu, mengatakan awalnya polisi menemukan beberapa kasus anak sakit. Malah ada yang meninggal setelah divaksinasi. Penyelidikan polisi menemukan beberapa penjual vaksin yang tidak memiliki izin. Hingga pekan lalu, ada 10 orang yang ditangkap, dari produsen, kurir, pemilik apotek, hingga pembuat label vaksin. Ini merupakan kejahatan berkelompok.
Berdasarkan pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), setidaknya ada lima vaksin yang dipalsukan. Masing-masing Tuberculin untuk vaksin penyakit TBC, Pediacel dan Triacel untuk tetanus, Bioset untuk penyakit yang disebabkan oleh alergi, dan Hafren untuk hepatitis A.
Menurut Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, anak yang diberi vaksin palsu tentu saja tak mendapat perlindungan dari penyakit, seperti pemberian vaksin pada umumnya. Anak yang disuntik vaksin TBC palsu, misalnya, tak akan kebal terhadap penyakit itu. Artinya, anak itu perlu mendapat vaksin ulang.
Para pemerhati kesehatan juga khawatir soal kebersihan ketika vaksin tiruan itu diproduksi. Jika dilakukan secara serampangan dan bahan campurannya terkontaminasi, pemberian vaksin itu bukan hanya tak mengobati, malah memberikan penyakit baru kepada orang yang disuntik vaksin.
Penemuan vaksin palsu ini seharusnya menyadarkan otoritas bidang kesehatan untuk lebih proaktif melakukan pemantauan. Salah satunya memastikan pasokan vaksin tersedia dengan cukup. Sebab, salah satu dugaan pemicu pemalsuan adalah tak sebandingnya pasokan dan kebutuhan vaksin. Celah itulah yang dimanfaatkan para kriminal tersebut.
Pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap obat atau vaksin palsu, dan tak mudah tergiur oleh rayuan harga murah. Menurut polisi, satu paket vaksin palsu hanya menghabiskan biaya Rp 150 ribu dan komplotan ini menjual dengan harga Rp 250 ribu. Sedangkan harga vaksin asli sekitar Rp 800-900 ribu per paket.
Polisi harus membongkar tuntas kasus ini dan bergerak cepat untuk mencegah meluasnya korban penyebaran vaksin palsu. Komplotan ini mesti dihukum berat agar menimbulkan efek jera bagi para pemalsu lainnya. Langkah tegas polisi harus diikuti pengawasan yang ketat oleh Kementerian Kesehatan agar pemalsuan serupa tidak muncul lagi di masa mendatang.