Kerusuhan dalam sebuah pertandingan sepak bola sudah tak bisa ditenggang. Hukuman keras mesti diterapkan. Kerusuhan itu tidak hanya mencederai sportivitas dalam olahraga, tapi juga membahayakan orang lain dan menghancurkan harta benda.
Kerusuhan terakhir terjadi pada Jumat malam lalu, saat Persija Jakarta melawan Sriwijaya FC dalam rangkaian kompetisi Indonesia Soccer Championship (ISC) di Stadion Gelora Bung Karno. Saat itu, Persija ketinggalan 0-1 dari tamunya. Dalam kerusuhan ini, seorang pedagang meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka-luka, termasuk Brigadir Hanafi. Selain itu, sejumlah mobil dirusak. Pelakunya adalah suporter pendukung Persija yang disebut Jakmania.
Kementerian Pemuda dan Olahraga, seusai rapat dengan PT Gelora Trisula Semesta sebagai penyelenggara ISC, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Polda Metro Jaya, dan manajemen Persija Jakarta, menjatuhkan sanksi yang cukup berat kepada Persija dan Jakmania. Sanksi yang disepakati pada Senin lalu, di antaranya, adalah Jakmania dilarang menonton laga Persija hingga kompetisi ISC berakhir. Persija juga akan bermain tanpa pendukungnya dalam enam pertandingan kandang dan tandang, terhitung mulai 3 Juli. Persija dan Jakmania masih menunggu sanksi lain dari Komisi Disiplin PSSI.
Sanksi itu bukanlah yang pertama diberikan kepada klub atau pendukung sebuah klub sepak bola. Mei lalu, Arema dihukum membayar denda Rp 10 juta karena suporternya, Aremania, menyalakan flare ketika menjamu Persiba Balikpapan di Stadion Kanjuruhan, Malang. Namun berbagai hukuman itu toh tak membuat mereka jera dan tetap saja mengulangi perbuatannya.
Indonesia bisa belajar dari negara lain. Dalam perhelatan Euro 2016 di Prancis, sejumlah pendukung Rusia dideportasi dan Federasi Sepak Bola Rusia didenda 150 ribu euro atau sekitar Rp 2 miliar. Bahkan, jika pendukung Rusia dan Inggris kembali berulah, tim nasional kedua negara akan dipulangkan dari kompetisi Eropa itu. Dalam kasus yang lain, pendukung West Ham United, yang menyerang bus Manchester United, diancam hukuman larangan menonton seumur hidup.
Baca Juga:
Hukuman yang berat seperti di sejumlah negara itu perlu dicontoh Indonesia untuk memberikan efek jera, sekaligus mencegah kerusuhan oleh pendukung tim yang lain. Klub juga harus bertanggung jawab mendidik suporternya agak bertindak sportif sesuai dengan semangat olahraga.
Mereka yang melakukan tindakan anarkistis yang membahayakan orang lain perlu juga dipidanakan. Sesuai dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum selama-lamanya lima tahun enam bulan. Bila menyebabkan luka, tujuh tahun; luka berat, sembilan tahun; dan menyebabkan kematian, 12 tahun penjara. Hanya dengan cara itulah sepak bola Indonesia bisa menjaga martabatnya sekaligus memelihara asa untuk berprestasi lebih baik.