TERULANGNYA penyanderaan awak kapal Indonesia oleh perompak Filipina sebenarnya bisa dihindari jika semua pihak menaati langkah-langkah pencegahan yang telah disepakati. Jakarta perlu lebih keras memaksa Manila untuk segera melakukan patroli bersama. Pemerintah Indonesia juga mesti menindak tegas para pelaut yang melanggar prosedur keamanan yang telah diumumkan.
Tanpa langkah tegas, awak kapal Indonesia akan terus jadi bulan-bulanan perompak. Tahun ini saja terjadi tiga kali penculikan. Yang terakhir 20 Juni lalu. Dalam sehari, kelompok Abu Sayyaf melakukan dua penculikan terhadap 13 awak kapal Indonesia. Enam di antaranya dibebaskan dan sisanya masih disandera. Mereka adalah awak kapal tunda yang menarik tongkang batu bara.
Sebenarnya sudah ada langkah maju untuk menangani penculikan itu. Pemerintah Filipina, Indonesia, dan Malaysia telah menandatangani perjanjian kerja sama untuk menggelar patroli di perbatasan. Setiap kapal Malaysia ataupun Indonesia nantinya dikawal oleh angkatan laut negara masing-masing hingga ke perbatasan Filipina. Setelah itu, pengamanan akan diserahkan kepada Angkatan Laut Filipina hingga kapal kembali keluar dari wilayah laut negara tersebut.
Sayangnya, perjanjian ini belum bisa dilaksanakan karena belum ada petunjuk pelaksanaannya. Detail-detail prosedur itu harus disepakati dalam perundingan berbeda. Salah satu penyebabnya, pergantian kepemimpinan di Filipina. Presiden Filipina yang baru, Rodrigo Duterte, baru akan dilantik hari ini, 30 Juni. Praktis semua perjanjian multilateral harus menunggu.
Pemerintah Indonesia mesti mendesak Filipina untuk secepatnya menindaklanjuti perjanjian itu, mengingat korban terus berjatuhan. Apalagi Duterte, dalam berbagai kampanyenya, telah berjanji menyikat kelompok-kelompok kriminal seperti Abu Sayyaf.
Duterte pasti juga mempertimbangkan kebutuhan batu bara negerinya, yang sekitar 96 persen dipasok dari Indonesia. Kalau saja pemerintah Indonesia, atas dasar keamanan, melarang pengiriman batu bara ke Filipina, mereka akan sangat rugi. Indonesia perlu menunjukkan ketegasan agar Filipina serius memerangi Abu Sayyaf.
Penyanderaan-penyanderaan ini juga membuat risiko pengiriman meningkat. Itu artinya biaya pengiriman juga lebih mahal. Akibatnya, harga batu bara untuk Filipina bisa lebih tinggi dari seharusnya. Kondisi tersebut seharusnya memaksa pemerintah Filipina lebih aktif melakukan pencegahan.
Sembari menunggu perjanjian multilateral itu bisa dilaksanakan, sebenarnya sejumlah tindakan pencegahan bisa dilakukan. Pemerintah dan TNI sudah meminta perusahaan pengiriman batu bara Indonesia menghindari perairan Sulu di Filipina Selatan--jalur langganan Abu Sayyaf untuk melakukan penculikan. Masalahnya, masih banyak kapal enggan menaati imbauan tersebut. Kapal batu bara yang awaknya pernah disandera beberapa waktu lalu itu pun masih nekat melewati jalur rawan yang seharusnya dihindari.
Patroli bersama atau menghindari jalur rawan hanyalah pencegahan sementara. Sumber utama kekacauan adalah masih berkeliarannya kelompok Abu Sayyaf di selatan Filipina. Untuk menuntaskan masalah, pemerintah Filipina harus menumpas kelompok bersenjata itu.