Tewasnya Santoso alias Abu Wardah, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, tidak boleh membuat polisi lantas mengendurkan kewaspadaan. Pengalaman menunjukkan matinya pentolan sebuah kelompok teroris tidak serta-merta melumpuhkan jaringan penebar maut itu. Operasi perburuan teroris harus berlanjut.
Santoso tewas dalam kontak senjata antara kelompok yang ia pimpin dan Tim Alfa 29 Batalion Infanteri Raider 515 Kostrad, di Poso, Sulawesi Tengah. Tim ini adalah bagian dari Satuan Tugas Operasi Tinombala, yang merupakan gabungan TNI-Polri. Selain Santoso, seorang anak buahnya tewas, sedangkan tiga orang lainnya berhasil kabur.
Santoso diburu sejak 2002. Aksinya bisa dilacak dari awal 2000-an ketika ia divonis 4 tahun penjara karena memiliki senjata api dan melakukan percobaan pembunuhan. Pada 2011 Santoso menyerang kantor BCA Palu, lalu melakukan serangkaian teror pada 2012. Pria kelahiran Pamona Utara, Morowali, ini tercatat meledakkan bom di pertigaan Gereja Imanuel Poso dan di Jalan Yos Sudarso, juga membunuh dua polisi. Ini menunjukkan betapa berbahayanya dia.
Kaderisasi di kalangan teroris selalu berjalan mulushal yang patut diwaspadai. Kita ingat, saat aparat keamanan berhasil menewaskan Dr Azahari dan kemudian Noor Din M. Top, aksi terorisme tak otomatis padam. Setelah Noor Din tewas, posisinya sebagai pemimpin Tandzim Al-Qaidahuntuk Asia Tenggara ditempati oleh Syaifudin Zuhri bin Djaelani Irsyad. Orang inilah yang sebelumnya menjadi dalang teror bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta (2009), yang menewaskan 9 orang. Adalah Syaifudin Zuhri, si perekrut "pengantin"-nyasebutan untuk pelaku bom bunuh diri.
Saat ini momentum baik bagi aparat keamanan untuk memburu sisa-sisa kelompok Santoso. Sebab, sangat diyakini ada satu sosok yang segera mengambil alih tampuk kepemimpinan sepeninggal Santoso, yakni Mohamad Basri alias Bagong. Catatan teror orang ini tak kalah telengas dibanding Santoso. Dia pernah menembak pendeta dan melakukan serangkaian pengeboman.
Pelaku teror sebaiknya tak diberi peluang bernapas, mengingat lancarnya pewarisan posisi dan paham radikal di antara mereka. Hanya, mesti tetap dijaga agar dalam proses perburuan ini prinsip hak asasi manusia tak dicederai. Jangan sampai kasus yang dialami terduga teroris Siyono di Klaten terulang. Siyono tewas diduga secara tidak wajar setelah ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri, April lalu.
Selain ikhtiar perburuan, polisi sebaiknya bekerja sama dengan berbagai lembaga yang kompeten untuk mencegah berkembangnya radikalisasi agama, terutama di kalangan anak muda dan remaja. Mesti dirumuskan langkah yang jitu, agar paham radikal tidak berkembang, katakanlah di sekolah atau komunitas-komunitas remaja. Bukan berarti selama ini tidak ada langkah tersebut, tapi tampaknya belum efektif.