Pemerintah tidak boleh menganggap enteng hasil International People's Tribunal (IPT) tentang peristiwa 1965. Sia-sia saja bereaksi keras terhadap putusan Pengadilan Masyarakat Internasional itu, karena hanya akan semakin mencoreng bangsa Indonesia.
Mulai membuka sidang pada November 2015, IPT memutuskan soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara selama kurun 1965-1966 pada Rabu lalu. Pengadilan menyatakan telah terjadi genosida dalam peristiwa pembasmian pendukung dan anggota Partai Komunis Indonesia pada 1965 dan 1966. IPT juga merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meminta maaf atas peristiwa itu, dan melakukan penyelidikan.
Reaksi keras langsung ditunjukkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menilai sidang itu sebagai gombal dan bertujuan memecah-belah rakyat Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pun menolak tudingan telah terjadi pembunuhan massal.
IPT memang bukan lembaga resmi. Namun rekomendasi pengadilan ini cukup berpengaruh. Pengadilan yang sama pernah menyidangkan kejahatan Israel terhadap masyarakat Palestina, yang berakhir dengan pengakuan dunia. Apalagi kesimpulan telah terjadi genosida dalam Peristiwa 1965 bukanlah tudingan sembarangan.
Pemerintah selama ini berkukuh bahwa pembantaian pada 1965 dan 1966 merupakan konflik horizontal, bukan vertikal yang melibatkan negara, sehingga negara tidak perlu meminta maaf kepada para korban. Namun berbagai bukti, termasuk hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2012, menunjukkan adanya campur tangan negara dalam kekerasan di berbagai penjuru negeri. Ratusan ribu orang dibunuh dan puluhan ribu orang dipenjarakan selama belasan tahun tanpa pengadilan.
Tanda-tanda perubahan sikap sempat ditunjukkan Presiden Jokowi saat berpidato di depan DPR pada 14 Agustus 2015 dengan menyatakan pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air, termasuk melakukan rekonsiliasi. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, juga pernah menggelar simposium "Membedah Tragedi 1965" pada April lalu.
Kalau ingin serius, ada dua langkah yang bisa diambil pemerintah dalam Peristiwa 1965 dan 1966. Pertama, melalui jalur hukum. Hasil penyelidikan Komnas HAM, yang merekomendasikan dilakukan penyidikan, bisa ditindaklanjuti Kejaksaan. Langkah kedua adalah jalur non-yudisial dengan melakukan rekonsiliasi setelah didahului dengan pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM berat yang melibatkan negara.
Tapi kedua langkah itu masih sulit diharapkan. Sekarang saja para pejabat malah menolak hasil pengadilan di Den Haag. Seharusnya pemerintah menghargai hasil IPT serta berupaya menyelesaikan kasus 1965 dan 1966 secara adil dan bermartabat.