Putu Setia
Dulu identitas itu hanya berupa kartu. Yang harus dimiliki oleh orang dewasa tentu saja identitas kependudukan yang disebut kartu tanda penduduk (KTP). Di situ tercantum nama, jenis kelamin, tanggal lahir, alamat, status perkawinan, golongan darah, agama, foto diri, dan tanda tangan. Semua ini penting, bahkan supaya identitas itu tidak mudah digandakan, mulai muncul kode NIK-nomor induk kependudukan.
KTP bukanlah satu-satunya identitas. Ada paspor, surat izin mengemudi, kartu kredit, kartu asuransi, kartu pers, kartu anggota partai, dan banyak lagi kalau mau disebutkan. Identitas yang dimasukkan ke kartu itu disesuaikan dengan kebutuhan. Di kartu kredit tentu tak ada golongan darah. Kolom agama? Hanya ada di KTP, dan itu pun khas Indonesia. KTP di negeri seberang, konon yang ada kolom agamanya bisa dihitung dengan jari.
Untuk apa kolom agama itu? Jika ada orang terkapar di jalanan dan membutuhkan bantuan, apakah dilihat dulu KTP-nya, agamanya apa? Jika Islam dibawa ke RS Islam, jika Kristen dibawa ke RS Kristen, jika Hindu cukup ke puskesmas-tak ada rumah sakit Hindu di Indonesia. Ternyata tidak begitu.
Seorang pejabat di Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, kolom agama di KTP itu penting untuk pendataan berapa jumlah pemeluk agama di Indonesia. Urusan pribadi dengan Tuhan ini harus diketahui oleh manusia, karena orang-orang beragama itu mendapat pembinaan di Kementerian Agama. Semua agama yang terdaftar punya Bimas-bimbingan masyarakat. Jadi, umat beragama wajib dibimbing oleh pemerintah.
Kalau KTP tak diisi kolom agama, bagaimana menentukan pendirian rumah ibadah, kan harus berdasarkan jumlah pemeluk agama? Itu kata Pak Pejabat tadi. Oiya, benar, pendirian rumah ibadah harus mematuhi jumlah pemeluk agama di wilayah tersebut dan itu dibuktikan lewat KTP. Ini berlaku di Indonesia minus Bali, karena di pulau dewata ini masjid, gereja, dan vihara sedang giat dibangun di setiap kota kecamatan, tak peduli pemeluk agama tersebut hanya sepuluh atau dua puluh orang. Ya, kalau tak ada rumah ibadah, kasihan mereka menempuh jarak 30-an km untuk bersembahyang. Semakin banyak rumah Tuhan tentu semakin damai.
Tapi perlukah pula identitas agama terus-menerus ditonjolkan dalam soal-soal yang remeh? Misalnya, di Bali sekarang ini mendadak bertebaran "warung muslim". Di setiap pelosok, dari kota sampai ke desa, ada label "warung muslim" itu. Maksudnya, memberi informasi yang benar kepada pelanggannya bahwa di warung itu tidak dijual makanan haram, misalnya babi. Tadinya, identitas yang digunakan adalah "halal", tapi rupanya kurang jelas dipahami pelanggan. Bahkan, sebelum ada tulisan "halal" yang mencolok, identitasnya cukup "warung Madura", "pecel lele Banyuwangi", atau "soto Lamongan". Identitas itu menghilang atau mengecil, yang mencolok kini "warung muslim". Tak ada "warung Hindu", misalnya.
Identitas dengan idiom keagamaan terus bermunculan. Lambang Palang Merah Indonesia mau diganti oleh DPR-karena menggantinya lewat undang-undang yang hanya bisa dibuat DPR. Tadinya saya pikir karena lambang itu terlalu sederhana, kurang modis, sehingga perlu studi banding ke Denmark. Ternyata, penggantian itu karena palang merah hampir mirip salib, dan itu identitas agama tertentu yang minoritas. Lalu ada pendapat, jika identitasnya harus idiom agama, pakailah milik mayoritas. Maka calon penggantinya adalah bulan sabit.
Ya, Tuhan, semoga munculnya identitas keagamaan untuk hal-hal yang tak ada urusan dengan keyakinan ini tak menjadi masalah ke depan, pada saat toleransi mulai surut.