Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Belum juga padam api yang melalap beberapa hutan di luar Jawa, kini Gunung Lawu, di Jawa Tengah, menyusul. Kecantikan gunung yang berkelir hijau itu bersalin menjadi merah bak buta rambut abang (raksasa berambut merah). Asap pekat menyerbu masyarakat yang bercokol di sekeliling hutan ataupun pegunungan. Hidung, bola mata, dan paru-paru mereka terganggu.
Dalam situasi gawat ini, baru disadari betapa berharganya sepercik air. Manusia yang angkuh terhadap local genius masyarakat klasik dalam mengelola air, perlu berpikir ulang. Selama ini, kearifan lokal yang bisa diartikan sebagai tindakan bijak yang berdasarkan akal budi, pengalaman, dan pengetahuan dikesampingkan gara-gara dituduh takhayul serta non-empiris. Musababnya, mayoritas manusia kadung menghamba kepada cara berpikir yang rasional dan pragmatis.
Orang Jawa tempo doeloe begitu sakral memandang air sehingga melahirkan istilah banyu panguripan. Sedangkan dalam dunia Barat, air disebut fons vitae (sumber hidup), dan penduduk Yunani menyebut nectar (minuman para dewa). Demi membuktikan vitalnya banyu panguripan dalam jagat Jawa bisa diendus dari aneka istilah yang ada. Semisal tirta, tirta kamandalu, tirta nirmala, toya pawira, toya marta, banyu mahapawitra, dan banyu bening pawitra sari.
Sederet terminologi ini memposisikan air untuk kebutuhan sehari-hari dan upacara. Contohnya, di Desa Jeblogan, Wonogiri, terdapat belik atau tuk yang bernama Tenggar, sebuah mata air di daerah hulu Bengawan Solo. Belik di samping bawah pohon beringin tua ini dijadikan pedayangan atau reksan (tempat keramat) lantaran diyakini sebagai sumber kesejahteraan dan keselamatan penduduk.
Saban bulan longkang atau selo (setelah Syawal), digelar upacara membersihkan belik sembari bikin sesaji untuk selamatan. Selain mengeramatkan belik, warga senantiasa menjaga pohon beringin biar air tetap mengalir. Sebab itulah, bila terdapat pepohonan besar dipagari sekelilingnya, hal tersebut bukan karena wingit atau ada genderuwo, melainkan supaya terhindar dari ulah tangan jail. Pasalnya, pohon rindang ini merupakan sumber persediaan air.
Ditemukan pula beberapa punden di sepanjang Sungai Ngampih, Wonogiri, yang disakralkan masyarakat, yaitu punden Bero, Dayu, dan Suden. Di sekitar punden, terdapat pepohonan besar yang berfungsi sebagai tempat penyimpan air untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Di sana, kearifan lokal terjaga.
Kemudian, air yang dimaknai sebagai sesuatu yang sakral dapat dilacak lewat komponen bangunan candi. Dalam kehidupan Jawa kuno, air yang diambil dari kolam candi patirtan dianggap sebagai air suci. Contoh candi patirtan adalah Balekambang (Semarang), Kunti, Lerep, Semboja, Kalitelon (semua di Boyolali), dan Payak (Yogyakarta). Arkeolog terkemuka Sukanto Kartoatmodjo (1983) menelaah singkat sebagian penduduk di wilayah Yogyakarta selatan yang kadang kala mengambil air dari Gua Cermin yang diyakini berkhasiat untuk penyembuhan.
Butiran fakta sejarah dan kultural di muka menunjukkan air merupakan sumber daya alam yang punya arti pokok bagi manusia. Manusia bisa menahan lapar hingga beberapa hari, namun tanpa air beberapa hari saja ia akan meregang nyawa. Kepulan asap juga hanya akan kalah oleh air, yang tidak lain adalah anugerah dari Tuhan.