Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sukarno Kembali Dituduh Dalangi G-30-S

image-profil

image-gnews
Iklan

Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Di masa Orde Baru, Sukarno dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965. Bahkan perannya dalam sejarah berusaha direduksi atau dihilangkan. Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto di dalam pertimbangannya menyebut bahwa Sukarno membantu upaya G-30-S.

Pada era reformasi, Ketetapan itu berusaha dicabut dan pada akhirnya dinyatakan einmalig—sudah terjadi. Karena konsideran Ketetapan masih mengganjal, maka ada upaya untuk merehabilitasi nama baik Sukarno. Atas prakarsa Taufik Kiemas ketika menjadi Ketua MPR, Sukarno diusulkan menjadi pahlawan nasional pada 2012, walaupun telah diangkat sebagai pahlawan proklamator pada 1986. Dengan menjadi pahlawan nasional, stigma negatif produksi rezim Orde Baru bahwa Sukarno dituduh terlibat G30S itu bisa hilang.

Namun, Oktober lalu, terbit buku Salim Haji Said, Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Buku itu menyimpulkan bahwa G30S terjadi karena Sukarno ingin menculik Jenderal A. Yani (bukan membunuhnya). Hal itu dilakukan untuk memecat Yani dan menggantinya dengan jenderal yang lebih loyal terhadap Sukarno. Biro Khusus PKI membonceng saja, dan akibatnya meletuslah G-30-S. Buku itu seakan mementahkan kembali upaya rehabilitasi nama baik Sang Proklamator.

Salim adalah wartawan pemula surat kabar Angkatan Bersenjata, yang waktu itu dipimpin Brigadir Jenderal Soegandi. Katanya, ia bertemu dengan atasannya tersebut pada 30 September 1965 siang, sehingga banyak memperoleh informasi. Bahkan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 ia ikut ke RRI, yang sudah dikuasai RPKAD.

Pada awal Oktober 1965, koran Angkatan Bersenjata melakukan kampanye hitam terhadap kelompok kiri dengan memberitakan penyiksaan para jenderal, termasuk pencungkilan mata mereka. Di kemudian hari, ternyata informasi itu tidak benar. Apakah Salim juga mengetahui atau ikut menulis laporan yang semacam itu?

Salim juga dekat dengan kolumnis Wiratmo Sukito. Wiratmo menjelaskan bahwa pastor Pater Beek punya hubungan dengan CIA melalui Pater Laszlo Ladany, rohaniwan Jesuit asal Hungaria yang tinggal di Hong Kong. Sebelum G-30-S meletus, Beek, menurut Wiratmo, aktif membuat/menyebarkan sejumlah bacaan antikomunis yang dananya ditengarai dari CIA. Adapun Wiratmo, selain dekat dengan Beek, banyak berhubungan dengan perwira di sekitar Jenderal Nasution.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai wartawan surat kabar militer, Salim juga diajak Sarwo Edhi dalam operasi penumpasan PKI di Jawa Tengah dan menyaksikan korban pembunuhan massal. Di antara Solo dan Boyolali, pasukan Sarwo Edhi berhenti karena ada mayat seorang tokoh PKI tingkat kecamatan di tengah jalan. Salim melihat mayat itu tertembak persis di kepala yang kemudian otaknya berhamburan di sekitarnya. Di Purworejo juga ada penembakan. Seorang prajurit mengumpulkan daun telinga mayat-mayat itu dan dijadikan cendera mata berupa kalung.

Menurut Salim, "Kisah berdarah yang amat tragis ini mungkin bisa dihindarkan jika sekiranya Presiden Sukarno tidak merasa terpaksa harus menyingkirkan Jenderal Ahmad Yani dengan cara daulat, yang ternyata dengan mudah ditumpangi PKI. Informasi yang saya kumpulkan menunjukkan bahwa Sukarno waktu itu memang sudah sangat kehilangan kepercayaan kepada Yani, di satu pihak, di pihak lain, Sang Presiden juga tidak cukup kuat dan yakin untuk begitu saja dengan cara normal menyingkirkan Panglima Angkatan Darat itu" (hlm. 184-185). "Gagasan awal yang kemudian muncul dalam bentuk Gestapu, bukan berasal dari Aidit, melainkan justru dari Sukarno sendiri. Pemimpin PKI itu hanya menumpang dengan memanfaatkan gagasan Sang Presiden" (hlm. 181).

"Teori" Salim ini muncul berdasarkan kisah Bambang Widjanarko dalam buku The Devious Dalang, yang mengatakan bahwa, pada 4 Agustus 1965, Presiden Sukarno memanggil Letnan Kolonel Untung untuk menerima perintah melaksanakan rencana Presiden. Pengakuan Bambang merupakan berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib, yang sebetulnya merupakan rahasia negara tapi diterbitkan di Belanda pada 1974.

Di dalam buku The Devious Dalang, sebetulnya terdapat informasi bertolak belakang dengan "skenario 4 Agustus 1965", yaitu pembicaraan Sukarno dengan Jenderal Mursyid pada 29 September 1965 bahwa Bung Karno akan mengganti Yani sebagai Menteri Panglima AD dan menyerahkan pimpinan AD kepada Mursyid. Pada 30 September 1965, pukul 8 pagi, menurut Djamin—sekretaris pribadi Presiden—Sukarno telah menandatangani pengangkatan Mursyid sebagai Menpangad.

Apakah The Devious Dalang sahih sebagai sumber penulisan sejarah? Bambang mengaku dipaksa dalam interogasi tersebut. Maulwi Saelan, ajudan Presiden dan Wakil Komandan Cakrabirawa, menyangkal pertemuan tanggal 4 Agustus 1965. Lagi pula, pada tanggal tersebut Sukarno terkena stroke ringan. Seandainya pertemuan itu terjadi, dalam kondisi tersebut apakah ia masih bisa memberi perintah? Jadi, Salim menyusun teori tentang Sukarno sebagai dalang pertama G30S berdasarkan sumber yang lemah.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kunjungi Pondok Pesantren, Jokowi Bicara Lagi `Gebuk` PKI  

11 Juni 2017

Presiden Jokowi tertawa ketika memberikan pertanyaan nama-nama suku di Indonesia kepada santri saat melakukan kunjungan di Pondok Pesantren Buntet, Kabupaten Cirebon, 13 April 2017. Presiden juga menghadiri peletakaan batu pertama Auditorium Mbah Muqoyyim. ANTARA/Oky Lukmansyah
Kunjungi Pondok Pesantren, Jokowi Bicara Lagi `Gebuk` PKI  

okowi kembali menegaskan soal larangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena itu, Presiden minta masyarakat tidak terprovokasi isu bangkitnya PKI.


Tuding Ada Kader PKI di PDI-P, Alfian Akan Diperiksa Polisi

18 Mei 2017

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi RP Argo Yuwono. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Tuding Ada Kader PKI di PDI-P, Alfian Akan Diperiksa Polisi

Alfian Tanjung akan dimintai keterangan soal cuitannya yang diduga menuding sebagian politikus PDI Perjuangan adalah kader PKI.


Fotografer Tempo Dipaksa Copot Kaus Aeroflot yang Dipakainya

17 Maret 2017

Kaos Rusia Airlines, Aeroflot. cccp-shirts.com
Fotografer Tempo Dipaksa Copot Kaus Aeroflot yang Dipakainya

Fotografer Tempo, Subekti, dipaksa mencopot kaus bergambar maskapai penerbangan Rusia, Aeroflot, yang ia kenakan saat salat Jumat di Jatinegara.


Rezim Orde Baru Bangkit, Pengamat: Produk Reformasi Harus Waspada

13 Maret 2017

Pengunjung mengamati koleksi foto mantan presiden RI Soeharto yang merupakan bagian dari peluncuran buku foto
Rezim Orde Baru Bangkit, Pengamat: Produk Reformasi Harus Waspada

Pemerintahan Soeharto, presiden yang berkuasa di era Orde Baru selama 32 tahun, dianggap lebih baik ketimbang sekarang.


Tuduhan Komunis, Alfian Tanjung Mohon Maaf pada Nezar Patria

8 Maret 2017

Nezar Patria. Dok. TEMPO/Adri Irianto
Tuduhan Komunis, Alfian Tanjung Mohon Maaf pada Nezar Patria

Alfian Tanjung meminta maaf kepada anggota Dewan Pers Nezar Patria. Alfian tak sanggup membuktikan tuduhannya kepada Nezar sebagai kader PKI.


Yayasan Korban Peristiwa 65 Ingin Bertemu Presiden Jokowi  

31 Agustus 2016

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bejo Untung dan anggotanya di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, 9 Mei 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
Yayasan Korban Peristiwa 65 Ingin Bertemu Presiden Jokowi  

Bedjo Untung menuturkan YPKP 65 ingin berbicara dari hati ke hati dengan Presiden Jokowi.


Agus Widjojo: Rekonsiliasi Tragedi PKI Tak Terhindarkan  

25 Agustus 2016

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo di sela-sela Simposium Anti PKI di Balai Kartini Jakarta, 1 Juni 2016. TEMPO/Arkhe
Agus Widjojo: Rekonsiliasi Tragedi PKI Tak Terhindarkan  

Setidaknya ada empat elemen dalam rekomendasi rekonsiliasi yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo.


Wantimpres: Presiden Terima Hasil Simposium Tragedi 1965  

25 Agustus 2016

Ketua Pemuda Rakyat Sukatno yang menjadi underbouw PKI yang juga wartawati Warta Buana, korban Tragedi 1965, Sri Sulistyawati hadiri acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, 18 April 2016. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa Simposium ini tidak bisa dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. TEMPO/Subekti
Wantimpres: Presiden Terima Hasil Simposium Tragedi 1965  

Koordinator Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung meminta Presiden Jokowi segera merespons rekomendasi tersebut.


Tragedi 1965, Luhut Sebut Tidak Ada Korban Pembunuhan Massal  

21 Juli 2016

Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, saat coffee morning dengan sejumlah wartawan di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Luhut menyampaikan harapannya agar Indonesia jangan mau didikte negara asing. TEMPO/Aditia Noviansyah
Tragedi 1965, Luhut Sebut Tidak Ada Korban Pembunuhan Massal  

Pengadilan menemukan adanya genosida. Pemerintah membantah hal ini.


Penggalian Kuburan Korban 1965 Diharapkan Kelar Bulan Depan  

21 Juli 2016

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan saat coffee morning dengan sejumlah wartawan di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Dalam acara ngobrol santai tersebut Luhut menyampaikan pesan kepada sejumlah wartawan. TEMPO/Aditia Noviansyah
Penggalian Kuburan Korban 1965 Diharapkan Kelar Bulan Depan  

Pemerintah tidak melihat ada jumlah kuburan massal yang signifikan, yang bisa membuktikan tuduhan adanya pembantaian pada 1965