Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mencari Jaksa Agung

image-profil

image-gnews
Iklan

Lestantya R. Baskoro, Wartawan Tempo

Akhirnya kekhawatiran jaksa agung pilihan Presiden Joko Widodo terseret-seret urusan politik terbukti.  Kendati membantah tak terlibat sama sekali dalam kasus Gatot Pujo Nugroho—Gubernur Sumatera Utara yang kini menjadi tersangka—nama Jaksa Agung H.M. Prasetyo sudah masuk pusaran kasus ini. Setidaknya, seperti dilansir media, ada dua hal yang membuatnya  tersangkut. Pertama, dia ditelepon Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem (Majalah Tempo, 8 November 2015). Kedua, janji Sekretaris Jenderal NasDem, Patrice Rio Capella, yang akan menyelesaikan urusan kasus Gubernur Sumatera Utara di Kejaksaan Agung.

Terpilihnya Prasetyo menjadi Jaksa Agung sejak awal sudah menuai kritik. Kendati pernah menjabat Jaksa Agung Muda, posisinya saat itu sebagai anggota Partai NasDem dinilai akan membawa persoalan. Sejumlah media, termasuk Tempo, sudah mengingatkan hal itu. Tentu hal yang wajar bila Surya Paloh, sebagai patron dalam memenangkan Jokowi sebagai presiden, menyodorkan kadernya. Tapi semestinya pula Presiden menyadari posisi jaksa agung harus steril, bebas dari kepentingan apa pun.

Inilah yang rasanya sulit dilakukan Jaksa Agung Prasetyo. Sebagai bekas anggota Partai NasDem, misalnya, apakah ia tak akan mengangkat teleponnya atau datang jika dipanggil Surya Paloh? Apakah ia juga, misalnya, menolak menerima tamu-tamunya, rekan-rekannya di Partai NasDem, jika mereka mendatangi kantornya? Rasanya tak mungkin.

Tidaklah mudah memilih sosok untuk menduduki jabatan jaksa agung, pemimpin institusi yang memiliki kekuasaan untuk menuntut dan menghentikan perkara. Tarik-menarik kepentingan akan kencang terjadi. Posisi jaksa agung, jika bisa "disetir", dapat digunakan untuk kepentingan tertentu. Dan, itu tentu berbahaya. Tidak hanya untuk institusi Kejaksaan itu sendiri, tapi juga bagi bangsa ini.

Undang-Undang Kejaksaan memang membuka peluang orang luar  menjadi jaksa agung. Pasal 20 UU Kejaksaan Nomor 16/2004 menegaskan hal tersebut.  Itu  berbeda dengan, misalnya UU Kepolisian, yang "mengunci" orang di luar institusi kepolisian menduduki jabatan kepala Polri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi bukan hal mudah pula untuk memimpin Kejaksaan dalam kondisi sekarang ini. Institusi hukum, seperti juga kepolisian, sedang diragukan profesionalitasnya, sehingga sampai perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang dibutuhkan bukan sekadar sosok yang memiliki integritas atau keberanian, tapi juga bisa menyatukan dan mengarahkan sekitar 4.000 jaksa untuk bekerja  dengan hanya satu tujuan: menegakkan hukum. Pada titik inilah kita membutuhkan sosok yang bersih, berani, dan diterima di internal Kejaksaan–tidak peduli mereka dari luar atau dalam Kejaksaan.

Kita bisa belajar setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Siapakah jaksa agung yang dipilih dari luar Kejaksaan yang rekam jejaknya bisa diingat? Sejumlah jaksa agung yang bukan berlatar jaksa bahkan ada yang lebih kerap berkantor di luar ketimbang di Kejaksaan Agung. Sejumlah jaksa agung dari luar yang pernah menjadi jaksa juga tidak menunjukkan prestasi apa-apa. Mereka tidak berani mengusut kasus besar, tidak melakukan gebrakan, karena sebelumnya sudah beraktivitas sebagai pengacara, menjadi konsultan hukum (resmi atau tidak resmi pada firma hukum tertentu), atau anggota partai. Berbagai "warna" inilah yang, pada akhirnya, membuatnya sulit untuk independen.

"Ikan busuk dari kepalanya," demikian suatu ketika Baharuddin Lopa berkata kepada penulis di kantornya, di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pejabat yang di dalam ruang kerjanya sering bertelanjang kaki itu kemudian ditunjuk menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada Juni 2001. Lopa pernah menjadi jaksa dan ia tahu benar seluk-beluk Kejaksaan—juga permainan jaksa nakal. Saat memimpin Kejaksaan, ia melakukan gebrakan: mencopot jaksa tak becus, atau memerintahkan pengusutan kasus korupsi yang mandek. Tak ada yang melawan. Ia disegani karena seluruh jaksa tahu ia bersih. Tak ada celah untuk menyudutkannya.  Dia tak pernah menjadi pengacara, kader partai, atau konsultan hukum, dan menjaga jarak dengan pengacara mana pun.

Yang diperlukan adalah jaksa seperti Lopa. Silakan Presiden mencari sosok seperti Lopa, dari luar atau internal Kejaksaan. Kejaksaan Agung sendiri memiliki sejumlah kandidat untuk posisi tersebut: Andhi Nirwanto (Wakil Jaksa Agung), Noor Rochmad (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum),  atau Widyo Pramono, bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dan kini Jaksa Agung Muda Pengawasan yang selalu berpuasa Senin-Kamis. Silakan Presiden mengirim tim untuk menyelidiki integritas mereka.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kejagung Copot Jaksa Pinangki, MAKI: Seharusnya Dipecat

30 Juli 2020

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman (kedua dari kiri) menyerahkan surat jalan Joko Tjandra yang diduga dikeluarkan salah satu instansi penegak hukum kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 14 Juli 2020. TEMPO/Budiarti Utami Putri.
Kejagung Copot Jaksa Pinangki, MAKI: Seharusnya Dipecat

MAKI menyatakan tidak puas dengan langkah Kejagung yang hanya mencopot jabatan Pinangki Sirna Malasari dalam pertemuannya dengan Joko Tjandra


Chuck Suryosumpeno Penuhi Panggilan Kejaksaan Agung

7 November 2018

Jaksa Agung M. Prasetyo usai menandatangani nota kesepahaman dan kerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di kantornya, Jakarta Selatan pada Rabu, 10 Oktober 2018. TEMPO/Andita Rahma
Chuck Suryosumpeno Penuhi Panggilan Kejaksaan Agung

Mantan jaksa Chuck Suryosumpeno diperiksa oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka terkait perkara tindak pidana korupsi penyelesaian barang rampasan.


Tahun 2017, 207 Jaksa Terima Hukuman Disiplin

10 Januari 2018

Kiri-Kanan: Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan (KKP), Zulficar Mochtar; Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Yusuf; Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung, Nur Rahmat; dan Hakim Mahkamah Agung, Surya Jaya dalam konferensi pers The International Fish Force Academy of Indonesia (IFFAI) ke-2 di kantor pusat KKP, Jakarta Pusat, Senin, 11 Desember 2017. Tempo/Fajar Pebrianto
Tahun 2017, 207 Jaksa Terima Hukuman Disiplin

Kejaksaan Agung mengatakan dari 51 jaksa yang menerima hukuman disiplin berat, tujuh diantaranya diberhentikan.


Jaksa Agung Minta Promosi Sudung dan Tomo Tak Dipersoalkan

22 Februari 2017

Jaksa Agung HM Prasetyo dalam paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 21 April 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Jaksa Agung Minta Promosi Sudung dan Tomo Tak Dipersoalkan

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan dirinya telah menimbang matang sebelum memutuskan untuk mempromosikan Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu.


Kepala Kejaksaan di NTT Diduga Selewengkan Dana Rp 2,6 M  

18 Oktober 2016

Ilustrasi logo kejaksaan. Kejari.go.id
Kepala Kejaksaan di NTT Diduga Selewengkan Dana Rp 2,6 M  

Kejaksaan Tinggi NTT telah memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung agar menjatuhkan sanksi terhadap yang bersangkutan.


Kepala Kejaksaan Diduga Selewengkan Duit Rp 2,6 Miliar

18 Oktober 2016

Ilustrasi logo kejaksaan. Kejari.go.id
Kepala Kejaksaan Diduga Selewengkan Duit Rp 2,6 Miliar

Kejaksaan Tinggi NTT telah merekomendasikan ke Kejaksaan Agung terkait dengan sanksi yang dijatuhkan, yakni berupa penundaan kenaikan pangkat.


Mantan Jaksa Didakwa Rugikan Negara Rp 7,9 Miliar

16 Maret 2016

Ilustrasi jaksa. Dribble.com
Mantan Jaksa Didakwa Rugikan Negara Rp 7,9 Miliar

Mantan jaksa di Nusa Tenggara Timur didakwa merugikan negara
sebesar Rp 7,9 miliar. Dia menjual barang rampasan perkara ke
pengusaha besi tua.


Jaksa Diduga Otak Penjualan Aset Negara di NTT Ditangkap  

12 Januari 2016

Ilustrasi (inloughborough.com)
Jaksa Diduga Otak Penjualan Aset Negara di NTT Ditangkap  

Jaksa Djami Rotui merupakan otak penjualan aset negara dalam kasus korupsi terpidana Andy Woworuntu.


Jaksa Temui Pihak Beperkara di Kafe, Kena Sanksi Berat

30 Desember 2015

Ilustrasi jaksa. Dribble.com
Jaksa Temui Pihak Beperkara di Kafe, Kena Sanksi Berat

Pelanggaran yang dilakukan jaksa pada tahun ini menurun. Pada 2014 jumlah jaksa nakal yang kedapatan melanggar 13 orang.


Kejaksaan Jadi Lembaga Terburuk, Banyak Oknum Berperilaku Tercela

22 Desember 2015

Subri, Kepala Kejaksaan Negeri Praya yang juga tersangka kasus dugaan suap terkait perkara pengurusan pemalsuan dokumen di Lombok,  saat dijenguk oleh keluarga di rumah tahanan KPK, Jakarta, (23/12). Subri ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK bersama pengusaha, Lusita Anie Razak, dengan barang bukti uang pecahan 100 USD sebanyak 164 lembar setara Rp 190 juta dan uang rupiah berbagai pecahan sebesar Rp 23 juta. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Kejaksaan Jadi Lembaga Terburuk, Banyak Oknum Berperilaku Tercela

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) membeberkan bahwa kinerja lembaga kejaksaan dianggap paling buruk di antara lembaga pelayanan publik lain.