Kementerian Perhubungan selama ini lembek menghadapi Lion Air. Meski maskapai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier) ini telah bolak-balik menabrak aturan dan menyengsarakan penumpang, tak tampak sikap tegas pemerintah.
Peristiwa mutakhir adalah keterlambatan lima penerbangan Lion dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, Ahad malam lalu. Delay selama belasan jam itu memicu kemarahan penumpang. Seperti efek bola salju, delay di Cengkareng berdampak terhadap penerbangan Lion di sejumlah bandara lain. Di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, empat pesawat tiba dan empat pesawat berangkat tertunda dari jadwal.
Setelah keributan, Menteri Perhubungan meminta penjelasan manajemen Lion. Hasilnya, seperti biasa pula, pemerintah akan menginvestigasi: bla..bla..bla.. Penyelidikan serupa sudah pernah dilakukan pemerintah. Misalnya tatkala delay panjang pada 10 Mei lalu, ketika para pilot mogok kerja gara-gara manajemen telat memberikan uang tunjangan transportasi. Sebanyak 11 penerbangan dari Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo, tertunda dan berimbas ke penerbangan di bandara lain. Namun tak ada sanksi yang keras seperti pencabutan izin, misalnya.
Pemerintah sebenarnya mafhum apa yang terjadi di tubuh Lion. Sebab, Kementerian Perhubungan menempatkan principal operation inspector (pengawas operasi) dan principal maintenance inspector di semua perusahaan penerbangan, termasuk PT Lion Mentari Airlines. Para pengawas itu merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk memonitor maskapai agar beroperasi sesuai dengan aturan. Artinya, bila ada penyimpangan, pelanggaran, atau yang lebih ekstrem pembangkangan terhadap regulasi, pengawas pasti tahu lebih dulu.
Kementerian Perhubungan tahu persis bahwa manajemen maskapai ini amburadul. Dalam kesimpulan hasil audit 18 Februari 2015, misalnya, ditemukan masalah pada pengaturan operasi penerbangan serta ketidaksesuaian antara bagian pemasaran dan ketersediaan pesawat.
Masalah ketenagakerjaan juga membayangi. Lion dituduh memaksa pilot melanggar batas jam terbang, yakni 9 jam per hari. Persoalan ketenagakerjaan ini sedang diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Berderetnya persoalan di tubuh Lion ini menunjukkan bahwa manajemen maskapai berlogo singa merah itu semrawut. Seharusnya pemerintah tak boleh membiarkan manajemen yang kacau mengurus penerbangan publik. Sebab, sektor ini membutuhkan jaminan keamanan dan keselamatan.
Kementerian Perhubungan sebenarnya memberi tenggat 6 bulan sejak 11 Mei agar perusahaan membenahi manajemen penerbangan, termasuk pengelolaan awak, dan operasi maskapai. Selama periode itu, perusahaan dilarang membuka rute baru. Faktanya, sampai saat ini kekacauan manajemen masih terjadi. Karena itulah, sanksi yang lebih keras harus dijatuhkan demi penerbangan yang aman dan selamat.