Besarnya dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang tersimpan di bank-bank pembangunan daerah menunjukkan kurang rapinya pemerintah daerah dalam menjalankan rencana pembangunan. Penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator kinerja birokrasi. Anggaran belanja yang beku di bank itu mengakibatkan mandeknya pembangunan. Perekonomian pun tak berputar.
Sampai Juni ini, total anggaran yang belum terpakai mencapai Rp 214 triliun. Ini lebih dari seperempat jumlah alokasi Transfer ke Daerah pada APBN-P 2016, yang sebesar Rp 776,3 triliun. Kinerja buruk birokrasi itu sungguh mengecewakan. Dalam Rapat Koordinasi Nasional VII Tim Pengendali Inflasi Daerah, Kamis pekan lalu, Presiden Joko Widodo membeberkan nama-nama daerah yang anggarannya masih banyak tersimpan di bank.
Daerah-daerah itu, antara lain, adalah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 13,9 triliun, Jawa Barat Rp 8,03 triliun, dan Jawa Timur Rp 3,9 triliun. Di tingkat kabupaten/kota, tercatat Kabupaten Bogor (Rp 1,9 triliun), Bandung (Rp 1,6 triliun), Bekasi (Rp 1,5 triliun), Kota Medan (Rp 2,27 triliun), Surabaya (Rp 1,85 triliun), dan Tangerang (Rp 1,36 triliun).
Rendahnya serapan anggaran itu terpicu berbagai faktor. Salah satunya adalah ketakutan aparat untuk segera mencairkan anggarannya guna pengadaan barang dan jasa. Ketakutan tersebut terjadi seiring banyaknya pejabat yang terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi akibat penyelewengan pencairan anggaran.
Menurut data KPK, sejak 2004 hingga 30 Juni 2016, ada 541 perkara korupsi di tahap penyidikan. Korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan jenis terbesar kedua, yakni 148 kasus, setelah penyuapan (262 kasus). Pejabat eselon I, II, dan III menjadi pelaku korupsi terbanyak (129 orang), sesudah pihak swasta (142). Sedangkan pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) menjadi instansi terbanyak melakukan korupsi (109 dan 82) di bawah kementerian dan lembaga (225).
Pemicu lain adalah perencanaan anggaran yang asal-asalan. Banyak anggaran proyek diajukan tanpa perhitungan matang. Akibatnya, ketika anggaran disetujui dan harus dicairkan, muncul berbagai kesulitan teknis. Lemahnya perencanaan, pada gilirannya, membuat pejabat daerah takut dituduh melakukan korupsi ketika tiba saatnya anggaran itu harus dipakai.
Ketakutan tersebut tak perlu terjadi jika saja perencanaan dan pencairan anggaran dilakukan sesuai dengan prosedur. Tak perlu takut terjerat tuduhan korupsi bila seluruh proyek dikerjakan sesuai dengan perencanaan.
Presiden pun telah menjamin, sepanjang penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan, para pejabat daerah tak akan menjadi incaran KPK atau kejaksaan. Bahkan Presiden telah menginstruksikan Jaksa Agung mencopot para jaksa yang tetap mengkriminalkan eksekutif tanpa bukti kuat. Seharusnya hal ini cukup menjadi jaminan agar dana yang belum terpakai itu segera digunakan.