Belum genap sebulan menjabat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah membikin heboh. Anak sekolah, SD dan SMP, menurut dia, perlu bersekolah sehari penuh. Konsep ini, kata Menteri Muhadjir, demi mengakomodasi kesibukan orang tua. Pulang dari kantor, pukul 5 sore, ayah dan ibu bisa sekalian menjemput putra-putrinya dari sekolah.
Gagasan sekolah seharianfull-day schoolsebetulnya tidak baru. Tak sedikit sekolah swasta yang menerapkan jam belajar sehari penuh, diselingi waktu bermain, makan siang, dan tidur siang. Hal ini biasanya dilakukan sekolah swasta yang bagus dan berstandar internasional. Guru-gurunya kreatif, fasilitas sekolah nyaman, suasana belajar pun menyenangkan.
Lebih dari soal plus-minus sekolah seharian, yang patut kita soroti adalah cara Menteri Muhadjir melontarkan gagasan. Tanpa kajian mendalam, Muhadjir langsung menyodorkan konsep. Apalagi dia mengklaim usulnya sudah mendapat lampu hijau dari Presiden dan Wakil Presiden. Proyek percontohan kabarnya segera dilakukan di sekolah-sekolah negeri, yang menurut Muhadjir, untuk mengetes pasar.
Wajar saja jika pernyataan Muhadjir itu memancing kritik keras. Pertimbangan kesibukan orang tua, dengan jam kerja pukul 9 sampai pukul 5, terasa Jakarta-sentris. Bagaimana dengan petani, nelayan, juga pengusaha yang irama kerjanya berbeda? Bagaimana dengan aneka kegiatan di luar sekolah, bermain bola atau layang-layang, yang seharusnya dinikmati anak usia SD dan SMP? Lalu, bagaimana dengan bocah yang menggembalakan kambing atau sapi sepulang sekolah?
Konsep sekolah seharian memang ideal. Anak-anak mendapat tempat yang aman dan nyaman sehari penuh, sementara ibu-bapaknya bekerja. Namun hal itu hanya berlaku jika semua prasyarat terpenuhi: jumlah dan kualitas guru, kenyamanan gedung, dan makan siang memadai, serta berbagai fasilitas tersedia.
Persoalannya, kesenjangan antara kualitas guru dan sarana pendidikan begitu luas. Masih banyak sekolah dengan fasilitas minim. Tidak sedikit pula sekolah yang berlokasi di labirin lembah dan bukit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki berjam-jam. Jika kebijakan sekolah seharian diterapkan, jurang kualitas pendidikan antara kota dan daerah bakal semakin lebar.
Belakangan, setelah kritik menderas, Muhadjir menjelaskan gagasan itu masih dalam kajian mendalam. Dia juga menegaskan konsep sekolah seharian tidak berarti anak di dalam kelas sehari penuh.
Sebagai seorang menteri, Muhadjir semestinya sadar kebijakan publik harus melalui kajian komprehensif. Prinsip evidence-based policy (kebijakan berbasis data dan bukti) harus ditegakkan. Faktor-faktor penghambat dan pendukung dikaji, barulah kebijakan dirumuskan. Tanpa kajian mendalam tentang arah dan strategi pendidikan, publik akan tergopoh-gopoh dipaksa mengikuti kemauan pejabat.