Yang dalam dari subuh adalah sunyi, dan yang dalam dari sunyi adalah tempat imajiner Tuhan yang tak ada lagi. Pernahkah pembaca mendengar Tuhan yang meninggalkan tempat-Nya?
Ketika berumur 22 tahun, penyair Rainer Maria Rilke pergi mengunjungi Rusia bersama sahabatnya, Lou Andrea-Salome. Di negeri itu Rilke bertemu dengan Leo Tolstoy, pengarang Perang dan Damai itu, juga dengan para petani dan penggarapjenis manusia yang sudah berubah di Eropadan merasakan lanskap Rus yang luas, senyap, penuh teka-teki.
Rilke tersentuh oleh perjalanan tahun 1889 itu. Ia pulang ke Mnchen, dan hanya dalam seminggu ia tulis semacam cerita, semacam renungan: Geschichten vom lieben Gott. Terjemahan Inggris buku kecil ini (oleh Michael H. Kohn) Stories of God. Terjemahan itu bagus, tapi tak menggambarkan hubungan Rilke dengan Tuhan, ketika kata lieben (yang tercinta) tak dimunculkan. Tuhan, bagi Rilke, adalah Tuhan yang tercinta.
Mungkin ada pengaruh Kristen dalam pandangan inimeskipun harus ditambahkan: Rilke sebenarnya menolak Kristus. "Siapa Kristus ini," tulisnya, "yang campur tangan dalam segala halyang tak tahu apa-apa tentang kita, tentang kerja kita, tentang kebutuhan kita, tentang kegembiraan kita, sebagaimana kita mengenalnya, menanggungkannya, mengalaminya?" Bagi Rilke, Tuhan yang seperti itu tak punya akses ke dalam dunia manusia.
Orang Kristen akan menganggap pandangan ini aneh, tapi yang ditentang Rilke sebenarnya adalah apa yang disebutnya sebagai "cercaan kepada hidup di bumi" yang dikumandangkan hampir semua ajaran agama, khususnya doktrin kristiani. "Cercaan" itu menista segala hal yang berkait dengan yang "sensual", dalam arti bermula pada indra, tubuh, rasa. "Cercaan" itu membuat hidup tampak buruk dan nista.
Bagi Rilke, hidup di bumi, irdische Leben, adalah hidup satu-satunya. Ia tidak menyesal. Apa yang kita sentuh dan kita lihat memang bersifat fana, sementara, tapi yang "sementara" itu sebenarnya tak terbatasi waktu. Mereka adalah pengejawantahan dari makna yang lebih luhur, sebagaimana juga kita.
Yang lebih luhur itu tak ada hubungannya dengan sebuah "hari kemudian" atau "yang di atas", ein Jenseits, yang "bayang-bayangnya mengeruhkan bumi". Benda-benda yang fana di sekitar kita bertaut dengan das Ganze, Yang-Seluruh. Dalam Yang-Seluruh kita tak terpisah dari duniadunia dengan isinya yang rapuh. Kita ada bersama mereka, dan mereka bagian dari apa yang kita punyai, dari perkawanan kita yang kenal duka dan suka-cita kita.
Dengan pandangan seperti itu, Rilke menerima kehidupan yang fana tanpa fatalisme yang getirfatalisme yang menganggap, karena tak ada hari esok, hidup adalah kutukan. Justru sebaliknya. Puisi Rilke menyentuh mesra benda-benda yang konkret: Dinggedicht-nya adalah usaha menampilkan benda-benda yang dilihat dan disentuhnya seakan-akan mereka berbicara sendiri.
Tapi sekaligus, itu juga sebuah transformasi: bumi yang tak kekal itu kita lekatkan ke hati kita hingga membekas, dan "hakikat" (Wesen)-nya pun akan bangkit lagi di dalam kita, "tak kasatmata". Rilke mengumpamakan kita (dalam sebuah kalimat Prancis) ibarat lebah: kita isap sari madu dari dunia yang konkret, yang terlihat sehari-hari, lalu kita kumpulkan ke dalam la grande ruche d'or de l'Invisible, "sarang lebah emas dari yang tak-kasatmata".
Dengan demikian benda-benda mengalami transendensi: sebagai bagian dari Yang-Tak-Kasatmata, l'Invisible. Mereka tak hanya sehimpun obyek yang bisa dikuasai. Rilke tak hendak memperlakukan benda-benda sebagai komoditas; ia melawan proses yang inheren dalam kapitalisme. Tapi juga ia melawan pandangan agama yang menganggap dunia benda-benda ("ke-benda-an") sebagai pangkal dosa. Agama-agama, dengan juru bicara mereka yang sengit di mimbar, melihat dunia sebagai wilayah yang harus terus-menerus dicurigaiwilayah di mana Iblis, dan bukan Tuhan, dekat.
Bagi Rilke, Tuhan justru dekat. "Engkau, Tuhan, yang tinggal di rumah sebelah," kata salah satu sajaknya. Begitu dekat, begitu tak luar biasa.
Tapi yang tak-luar-biasa itu selalu dibuat luar biasa oleh agama-agama: Tuhan yang mengatakan Ia lebih dekat dengan urat nadi kita ternyata diletakkan begitu jauh. Manusia harus memakai perantara. Rilke mengakui pengaruh Islam dalam puisinya, khususnya gambarannya tentang malaikat dalam sajak-sajak Duineser Elegien. Ia memang sebelumnya mengunjungi Andalusia, melihat peninggalan Islam di Spanyol, dan membaca Quran. Tapi ia tak memilih Islam sebagai agamanya, sebagaimana ia tak memilih Kristen sebagai dasar imannya.
Sajak-sajak religius Rilke lebih mirip puisi mistik; kita ingat ia berbicara tentang das Ganze, Yang-Seluruh, di mana segalanya bertemu: Tuhan, manusia, benda-bendasebuah peristiwa yang tak datang dari doktrin dan kekuasaan. Juga sebuah pertemuan yang tak dapat dirumuskan dengan begitu jelas dan begitu pasti hingga tak pernah ada rasa kehilangan dan rindu.
Bagi Rilke, tempat Tuhan bukanlah wilayah yang dibuat jelas dan pasti oleh akal.
Satu cerita dalam Stories of God mengisahkan Tuhan yang ditodong jutaan tangan yang berdoa, jutaan tangan yang membangun rumah ibadat, jutaan menara yang mencuat ke langit "seperti senjata yang memusuhi". Melihat itu, Tuhan pun gentar dan kembali ke surga. Tapi menara dan doa itu kian berlipat ganda mendesak di belakang-Nya. Diam-diam, melalui jalan lain, Tuhan turundan menemukan "sebuah kegelapan yang menerima-Nya dalam sunyi".
Sejak itu, bila tak di sana, Ia diliputi rasa rindu. Ia ingin tinggal di hati manusia, bukan dalam suasana siaga yang dingin yang ditegakkan manusia.
Goenawan Mohamad