Toriq Hadad, wartawan Tempo
Saya dulu sering meliput olahraga judo. Seni bela diri asal Jepang itu menurut pengertian harafiah berarti "cara yang halus". Kendati halus, judo memiliki kombinasi teknik yang keras tapi lembut, termasuk mencekik leher lawan.
Jurus okuri eri jime atawa cekik leher memang diperbolehkan dalam judo. Biasanya jurus itu dilakukan dengan memiting atau menarik bagian leher judogi (seragam judo) lawan. Lawan yang kesulitan bernapas akan segera menepuk-nepuk tatami (matras) tanda menyerah kalah.
Melihat foto seorang berseragam TNI Angkatan Udara bersepatu mengkilat sedang mencekik leher seorang berkaus hijau, saya teringat adegan dalam judo. Cekikan itu terlihat begitu kuat, karena sang perwira--belakangan disiarkan bernama Letnan Kolonel Robert Simanjuntak--menumpukan seluruh berat badannya pada leher "korban" yang tergeletak di bawah. Sang korban--ternyata seorang wartawan foto--kalau sanggup, pasti sudah cepat-cepat mengirim "tanda menyerah kalah". Tapi ia tak berdaya di antara hujan pukulan itu. Kameranya tergeletak di tanah. Sejumlah prajurit ikut memukul wartawan lain.
Bila ini pertandingan judo, Robert pantas menang dengan ippon alias angka mutlak, karena berhasil menjatuhkan dan mencekik lawan. Tapi, karena sebelum itu ia menonjok muka "lawan", bahkan jika adegan itu berlangsung di dalam pertandingan judo pun, ia mesti dikenai hukuman.
Tak ada orang waras yang tak prihatin dengan jatuhnya pesawat tempur Superhawk 200 milik TNI AU di Desa Pandau Jaya, 3 kilometer dari Pangkalan Udara Roesmin Noerjadin, Pekanbaru, Selasa lalu. Tapi wartawan tak bersalah meliput kejadian itu. Tiga wartawan itu--dari Riau Pos, TV One, dan LKBN Antara--malah perlu diakui memiliki naluri berita yang baik. Di antara keinginan mendapat berita eksklusif, mereka tak bisa dihalang-halangi untuk memenuhi hak informasi publik yang dijamin oleh undang-undang.
Apalagi, peristiwa nahas itu terjadi di ruang publik, bukan di area terbatas--yang biasanya dikelola dengan aturan khusus, misalnya pangkalan militer. Masyarakat berhak tahu semua peristiwa di ruang publik. Alasan kecelakaan itu harus dijamin kerahasiaannya bisa masuk akal dengan syarat mustahil: pilot pesawat tempur itu diimbau untuk jatuh di area terbatas atau diarahkan menuju kawasan yang kira-kira bebas dari wartawan. Syukurlah dalam kejadian ini pilot selamat setelah "terbang" ke luar dengan kursi pelontar.
Tendang, pukul, dan cekik tak bisa menjadi gaya baru untuk mencegah wartawan menyiarkan berita atau gambar. Komunikasi yang baik patut dikedepankan. Wartawan juga punya etika dalam bekerja. Mereka tak akan sembarangan memuat foto pilot dalam kokpit pesawat yang berkobaran api, misalnya. Media mempertimbangkan sisi kemanusiaan, kepantasan, dan kelayakan dalam pemuatan satu peristiwa yang mengerikan.
Lagi pula, liputan wartawan bisa berguna untuk TNI AU. Kejadian ini membuka mata bahwa kondisi pesawat tempur TNI kurang prima. Bila urusannya ihwal pengadaan yang perlu dana besar, bukankah lewat berita itu para pengambil keputusan bisa ikut memikirkannya. Panglima TNI, juga pelaku, telah bermaaf-maafan dengan wartawan. Melegakan. Tapi hak para wartawan itu untuk meneruskan kasus pidana ini juga perlu dihormati, tanpa perlu merusak silaturahmi yang baru terjalin kembali. ***