Putu Setia
Saya bersumpah, tidak akan makan buah-buah impor untuk membantu petani memasarkan hasil kebunnya. Saya bersumpah tidak akan melakukan korupsi agar pemerintah bisa lebih banyak mengucurkan uang untuk kesejahteraan rakyat. Saya bersumpah untuk menjunjung tinggi persatuan. Saya bersumpah...
Saya mendengar suara itu sayup-sayup di radio. Karena mendengar selintas sambil berbaring dan tidak fokus, saya tidak tahu ini acara apa. Dan sumpah pun semakin banyak. Tapi, karena ada suara cekikikan di sela sumpah, saya kira ini hanya bercanda. Radio saya matikan.
Dalam senyap, saya merenung, sumpah itu isinya baik. Hanya, mengucapkannya dengan main-main. Apakah ini menyindir seseorang? Saya tak tahu. Yang jelas, saya termasuk orang yang prihatin dengan membanjirnya buah impor ke Tanah Air yang subur makmur ini. Apel malang, jeruk bali, duku palembang, dan durian parung sudah tersisih di pasar-pasar, apakah itu pasar modern atau pasar tradisional. Soal korupsi, waduh, ini aneh bin ajaib. Orang berteriak antikorupsi tetapi membela koruptor. Menjunjung persatuan bangsa? Antar-fakultas di satu kampus saja bisa tawuran, satu agama beda ormas bisa saling merusak tempat ibadah, bagaimana bicara persatuan?
Masalahnya, mengatasi itu haruskah pakai sumpah? Kalau sumpah masih ditakuti, tak ada pejabat negara yang korupsi. Semuanya bersumpah saat dilantik. Cuma, sumpah itu seremonial belaka, tak meresap ke dalam hati. Sumpah sudah menjadi serapah--tak ada nilai religiusnya. Tak ada orang tergetar mendengarkannya.
Padahal, hari ini, delapan puluh empat tahun yang lalu, sebuah sumpah diucapkan para pemuda di Jakarta, gemanya masih hidup. Sumpah itu ikut mengantarkan berdirinya Republik. Di mana saktinya? Sumpah itu dilahirkan oleh orang-orang yang ikhlas, pemuda yang tulus, mereka yang menatap masa depan yang jauh dengan membuang sekat perbedaan kelompok, suku, maupun agama. Bukan sejenis ikrar atau slogan tokoh-tokoh masa kini, yang hanya berpikir pendek merebut jabatan dan kekuasaan.
"Sumpah Pemuda", demikian pernyataan pada 28 Oktober 1928 itu disebut, isinya ternyata tak mencantumkan kata sumpah, seperti lazim orang bersumpah saat ini, "Saya bersumpah bla-bla-bla." Isi pernyataan akhir Kongres Pemuda yang dipimpin Soegondo Djojopoespito itu hanya tiga masalah: dua hal yang sifatnya "mengakui" dan satu hal "menjunjung". Dua yang "diakui" itu adalah "mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia" dan "mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia". Adapun yang "dijunjung" adalah "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sederhana sekali, tak memakai kata-kata "kami putra dan putri Indonesia, bersumpah."
Ada pendapat, para pemuda dari berbagai etnis, suku, dan agama bisa berkumpul dan melahirkan ikrar pada saat itu karena ada "musuh bersama", lalu muncul "semangat yang sama". Musuh itu penjajah, semangat itu mendirikan negara bangsa. Bisakah kita saat ini menjadikan koruptor sebagai "musuh bersama" dan pemerintah yang bersih sebagai "cita-cita yang sama"? Ini yang sulit. Banyak dari kita yang ikut kaya dari mengurusi koruptor, dan kita pun punya "semangat" yang berbeda-beda.
Agaknya, kita perlu menyelenggarakan "kongres pemuda" lagi, seperti pada 1928. Pemuda Batak, pemuda Bali, pemuda Bugis, pemuda Madura, pemuda keturunan Cina dan Arab, semua pemuda tanpa kecuali, berikrar, "Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia." Minimal, kita apresiasi apa yang dilakukan di kampus UGM hari ini, semangat Sumpah Pemuda itu "dihidupkan" kembali.