Putu Setia
Barangkali kita terlalu banyak mengeluarkan kata-kata tapi terlalu sedikit berbuat. Barangkali kita terlalu nyerocos dengan ide tapi tak pernah mewujudkannya. Barangkali kita terlalu banyak mengeluh, menyalahkan orang lain, tapi tak pernah menuding diri sendiri apakah kita sudah benar dan sudah melakukan kewajiban kita.
Mungkin penyebabnya kita dimanja oleh teknologi penyebar kata-kata, apakah itu bernama media sosial seperti Twitter, Facebook, atau berbagai jejaring sosial lewat Internet, dan juga media-media online, baik yang resmi maupun yang tak jelas siapa pemiliknya. Banyak blog yang tak mencantumkan siapa yang mengelola. Dan isinya pun bermacam-macam, ada yang positif, ada yang negatif, termasuk yang mengolok-olok agama.
Semua ini tak bisa dibendung. Orang bisa membuat akun Twitter dengan nama apa saja--termasuk nama binatang yang lebih rendah dari manusia--dan setiap hari kerjanya mengolok-olok, mencampurkan umpatan dengan fitnah. Kehebatannya, akun-akun anonim ini terus-menerus mengumbar kata-kata, pertanda bahwa yang mengelolanya (admin) banyak. Kita--tepatnya saya, kalau Anda tak mau saya ajak terlibat--kadang-kadang percaya bahwa yang disampaikan itu betul; kadang masih mempertanyakan; selebihnya, ya, jelas memprovokasi, menghujat orang, memfitnah. Kalau sudah masuk ranah ini, sebenar-benarnya yang dikatakan akun itu semuanya jadi bohong. Kita punya pepatah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, meskipun sebelanga yang ditulisnya benar, kebenaran itu menjadi ternoda dan tak dipercayai orang lantaran nila yang setitik. Apalagi jika nilanya bertitik-titik.
Di luar dunia maya, kata-kata juga terlalu banyak berseliweran. Ketegangan antara polisi dan KPK juga karena perang kata-kata. Perang pernyataan tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Kasus-kasus besar yang ditangani KPK tak kunjung selesai karena disibukkan untuk melayani perang kata-kata itu. Polisi pun tak terdengar lagi, korupsi macam apa yang diberantasnya. Yang diketahui masyarakat, polisi makin gesit memburu terduga teroris.
Kini heboh terbaru adalah perang kata-kata antara Menteri BUMN dan lembaga DPR, yang dilanjutkan dengan meriah oleh perang antar-pengamat hukum di berbagai media, yang paling utama di televisi.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN, tahu betul bagaimana suatu obyek berita bisa running (terus-menerus diberitakan) sepanjang hari. Maklum, dia orang media. Maka, dicicillah setoran nama anggota Dewan yang "bermasalah" ke DPR. Mula-mula disebutkan 10 nama, lalu muncul inisial kesepuluh nama itu, tapi bukan Kementerian BUMN yang membocorkan.
Kemudian sepuluh nama menjadi "sekitar sepuluh", meskipun pada hari pertama yang disetorkan dua nama saja. Di hari ketiga disusul enam nama. Tapi, efeknya, kata berhamburan, apakah ini pemerasan, percobaan pemerasan, awal dari pemerasan. Itu saja sudah bisa dikembangkan dengan ribuan kata-kata. Belum ada yang bekerja untuk memastikan bahwa kata itu punya arti, dan nama-nama yang disebut itu apakah berstatus pemeras atau calon pemeras atau terduga pemeras, semuanya di awang-awang.
Bisa jadi, kasus ini segera terlupakan. Sebab, yang dilaporkan Dahlan hanya orang-orang yang "nakal", sementara kerugian BUMN belum ada. Seharusnya yang dilaporkan adalah pemeras yang berhasil. Tapi apa berani direksi BUMN melaporkan hal itu, meskipun lewat Dahlan Iskan?
Akhirnya, ungkapan "BUMN sebagai sapi perah" hanya cerita sebatas kata. Kasihan sapinya, karena pemerahnya tak dikenali, sementara energi kita berhari-hari dihabiskan untuk itu.