Putu Setia
Barangkali ini tulisan saya yang terakhir. Itu kalau kiamat sesuai jadwal, Jumat 21 Desember nanti. Kiamat ini versi suku Maya, yang menyebutkan bumi hancur ditabrak planet Nibiru. Kalaupun tak ada tabrakan, kiamat disebabkan oleh badai matahari. Bumi hangus, saya meninggal, Anda juga. Tak ada manusia istimewa meskipun dekat dengan lingkungan istana.
Jadwal kiamat ini menjadi lebih serius karena dibantah. NASA menyebutkan tak ada planet bernama Nibiru. Badai matahari juga tak ada dasarnya. Keseriusan membantah suatu hal yang sebenarnya tidak serius bisa menyebabkan hal itu menjadi serius benar.
Suku Maya punya kalender khusus, seperti halnya suku-suku besar di muka bumi ini. Dalam kalender mereka, pergantian zaman berlangsung setiap 5.125 tahun, dan itu terjadi pada 21 Desember 2012. Entah dari mana asalnya, gosip lalu dikembangkan, pergantian zaman berarti pergantian planet bumi. Bumi yang kita diami meledak. "Bumi baru" ditemukan dan dimulailah kehidupan dari titik nol. Tentu ini gosip, karena sesepuh suku Maya, Pedro Celestino Yac Noj, tidak menyebutkan ada bumi hangus. Yang ada hanya membakar biji dan buah untuk menandai akhir dari zaman itu, untuk menyambut zaman baru.
Yang tidak persis tapi bisa dimirip-miripkan adalah "kalender jagat-raya" Hindu, yang mengenal pergantian zaman. Untuk setiap zaman--disebut yuga--pergantiannya ditandai dengan kiamat. Tapi istilah kiamat ini disebut pralaya. Pralaya bisa besar dan bisa kecil, bisa lokal bisa global. Saat ini adalah kali yuga, zaman yang dipenuhi kekalutan. Kalau pralaya tiba, zaman baru menyusul, zaman terbaik adalah kerta yuga, menyusul yang tingkat kebaikannya berkurang, yaitu treta yuga, dwapara yuga, dan satya yuga.
Meski saya tahu "bacaan" ini, saya tak pernah mengalami pergantian zaman. Saya yakin tak ada sesuatu yang serius, ada heboh soal biasa. Musim berganti saja heboh, air sulit di musim kering, banjir bandang di musim hujan. Zaman Sukarno ke Soeharto pun heboh besar. Tapi kehidupan tetap berlangsung, satu-dua korban itu hanya soal guratan nasib.
Untuk apa menyikapi kiamat dengan serius? Untuk apa memelototi situs kiamat di dunia maya yang bukan dibuat oleh suku Maya? Lebih baik melirik kreativitas humor di jejaring sosial. Ada Panitia Kiamat, yang meminta maaf karena kiamat ditunda. Alasannya: ada renovasi di neraka yang tak kunjung selesai karena tersangkut korupsi persis Hambalang. Perdana Menteri Australia Julia Gillard termasuk yang melihat heboh kiamat ini sebagai lelucon.
Kita sebenarnya sudah menyaksikan berbagai kiamat kecil. Jumat lalu, Jakarta hujan deras, banjir, macet total, demo blokade jalan. Siapa yang suka dengan keadaan ini? Tapi "kiamat kecil" itu diperlukan untuk pelajaran berharga, bagaimana berdemo supaya dapat simpati. Dulu saya mendukung perangkat desa diangkat jadi PNS, sekarang dukungan saya cabut: belum diangkat saja kelakuannya bergaya preman, bagaimana bisa mengayomi rakyat kalau sudah diangkat.
Memang ini zaman kalut, semuanya serba salah. Ketua DPR Marzuki Alie tak mau menemui pengunjuk rasa dibilang tak memihak rakyat. Menemui pendemo dibilang cari muka. Kalau sekarang ada tokoh berbuat baik, entah itu menyumbang korban banjir, memberi masukan positif untuk masa depan bangsa, pasti ada yang mencibir: itu pencitraan.
Kiamat jadi diperlukan, tetapi yang dimusnahkan adalah sifat berburuk sangka. Dan kehidupan kita mulai dari nol: hidup bertenggang rasa, saling pengertian, tekad yang sama untuk kebaikan bangsa. Kalau ada "panitia kiamat" versi ini, saya mau ikut.