Purbaya Yudhi Sadewa, Ekonom lulusan Purdue University, Amerika Serikat
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia terakhir memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,5 persen. Walaupun saat ini sulit, ke depan peluang untuk menurunkan suku bunga tampak cukup terbuka.
Di tengah kondisi ekonomi yang masih relatif loyo ini, langkah BI yang tidak menurunkan suku bunga acuan mengecewakan banyak kalangan. Padahal ekonomi kita membutuhkan dukungan dari sisi fiskal maupun moneter untuk tumbuh lebih cepat. Pertumbuhan sekitar 4,7 persen tidak cukup untuk mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Bahkan ada kecenderungan pengangguran dan kemiskinan akan terus meningkat secara berangsur-angsur bila ekonomi terus tumbuh di bawah 5 persen.
Upaya untuk memberikan stimulus ke perekonomian sudah kita lihat dari sisi fiskal. Pemerintah sudah menerbitkan berjilid-jilid paket kebijakan untuk menciptakan laju pertumbuhan ekonomi. Walaupun sebagian paket tersebut hanya akan memberi dampak dalam jangka menengah atau panjang, paling tidak dari sisi fiskal sudah ada upaya yang serius untuk memperbaiki arah perekonomian.
Namun, tanpa bantuan dari sisi moneter, sulit rasanya bagi ekonomi kita untuk tumbuh lebih cepat. Otoritas moneter harus mulai melonggarkan kebijakan moneternya. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai menurunkan suku bunga acuan atau dengan langkah-langkah lain yang dapat menambah suplai uang di dalam sistem finansial.
Sebenarnya BI sudah tampak mulai berancang-ancang untuk mulai melonggarkan kebijakan moneternya. Hal ini terlihat dari langkah mereka menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dalam rupiah, dari 8 persen menjadi 7,5 persen, dan berlaku sejak 1 Desember 2015. BI memperkirakan kebijakan tersebut akan menambah kapasitas pemberian kredit sistem perbankan sebesar Rp 18 triliun.
Walaupun ini adalah langkah yang baik, rasanya banyak pelaku ekonomi yang kurang mengerti sinyal awal pelonggaran moneter BI ini. Sinyal yang paling mudah dimengerti oleh para pelaku usaha adalah penurunan suku bunga.
Sayangnya, menurunkan BI Rate saat ini agak berisiko karena seluruh dunia sedang menunggu langkah The Fed menaikkan suku bunga. BI akan terlihat menantang pasar yang mengantisipasi terjadinya modal keluar dari negara berkembang bila bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga. Jadi, ada risiko rupiah akan tertekan dengan lebih signifikan lagi kalau langkah menurunkan BI Rate dilakukan pada bulan ini.
Namun perbedaan suku bunga dalam negeri dengan suku bunga di AS sebaiknya tidak dijadikan acuan untuk kebijakan moneter jangka panjang. BI lebih baik fokus menjalankan inflation targeting atau lebih memperhatikan kondisi perekonomian dalam negeri. BI harus menciptakan kondisi tempat ekonomi kita dapat tumbuh secara optimal.
Landasan berpikir tersebut sudah dijadikan dasar pengambilan keputusan beberapa bank sentral. Mereka tidak terlalu takut ancaman kenaikan bunga The Fed dan mereka mengambil kebijakan yang terbaik untuk memajukan kondisi perekonomiannya. India, misalnya, sudah menurunkan bunga acuannya empat kali tahun ini karena belum puas atas pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen.
Adapun bank sentral Eropa (ECB) tetap menjaga suku bunga rendah dan sedang memompa uang ke sistem perekonomian mereka dengan agresif. Saat ini ECB bahkan mulai menimbang-nimbang untuk menerapkan kebijakan suku bunga nominal negatif. Padahal pada triwulan terakhir perekonomian Eropa tumbuh 1,6 persen, cukup baik untuk standar Eropa. Thailand juga sudah menurunkan suku bunga beberapa kali dan suku bunga acuan Thailand saat ini hanya 1,5 persen.
Indonesia kehilangan peluang menurunkan suku bunga acuan pada awal tahun karena tekanan inflasi yang tinggi dan ketakutan terhadap kenaikan suku bunga The Fed. Ke depan, kita tidak boleh lagi menyia-nyiakan peluang, bila memang ada.
Peluang untuk melonggarkan kebijakan moneter lebih jauh tampaknya cukup terbuka. The Fed sudah memberi sinyal bahwa pengetatan moneternya akan bertahap. Sementara itu, tekanan inflasi di dalam negeri juga akan turun secara signifikan ke bawah 5 persen. Laju inflasi bahkan dapat turun mendekati 4 persen pada awal Desember nanti karena dampak kenaikan harga BBM akan hilang dari angka inflasi tahunan setelah satu tahun (ini yang disebut base effect).
Bila inflasi memang benar-benar serendah itu, penurunan BI Rate tinggal menunggu waktu saja. Bila The Fed menaikkan suku bunga pada Desember tanpa menimbulkan reaksi negatif di pasar finansial dunia, BI harus bersiap-siap untuk segera melonggarkan kebijakan moneter lebih jauh lagi.
Menurunkan suku bunga memang dapat menimbulkan reaksi jangka pendek yang tidak enak, yaitu mengalirnya dana ke luar negeri. Namun, dengan sosialisasi yang jelas bahwa kebijakan tersebut akan segera menggairahkan kembali perekonomian Indonesia, rasanya dana tersebut akan segera kembali ke Indonesia. Investor lebih suka menginvestasikan uangnya di negara-negara yang mempunyai prospek pertumbuhan yang lebih tinggi karena keuntungannya juga akan lebih tinggi.
Ketika perekonomian sedang lesu, kebijakan fiskal dan moneter harus diarahkan untuk menggairahkan perekonomian. Paket-paket kebijakan pemerintah harus didukung juga oleh stimulus dari sisi moneter. BI harus jeli memanfaatkan peluang untuk menurunkan BI Rate agar ekonomi kita dapat tumbuh lebih cepat dari saat ini.