Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengapa Politik Uang Tidak Bekerja

image-profil

image-gnews
Iklan

Saidiman Ahmadi, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting

Salah satu yang paling dikhawatirkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember lalu adalah praktek politik uang. Politik uang, jika terjadi secara masif, akan mempengaruhi obyektivitas pemilih. Akibatnya, pemimpin daerah yang lahir dari proses ini bukanlah pilihan terbaik, melainkan yang terbanyak menggelontorkan dana untuk membeli suara. Politik uang akan menurunkan kualitas demokrasi.

Sepintas mungkin politik uang bisa dilihat secara sederhana, yakni tukar-menukar suara dengan uang atau barang. Dalam prakteknya, tidak sesederhana itu. Setidaknya ada dua pihak yang terlibat dengan latar belakang kompleksitas masing-masing. Betul bahwa politik uang sama dengan praktek jual-beli, yakni kandidat atau partai sebagai pembeli dan pemilih sebagai penjual. Persoalannya, ada ruang samar di dalam tempat pemungutan suara saat pembeli suara sulit memastikan bahwa suara yang ia beli benar-benar bisa ia peroleh. Sementara itu, penjual suara bisa secara jelas mengontrol secara pasti uang atau barang yang mereka terima. Tidak ada jaminan bahwa pemilih yang sudah diberi uang atau barang benar-benar akan menjatuhkan pilihan kepada si pemberi.

Sebagaimana layaknya perdagangan, jual-beli suara atau politik uang hanya terjadi jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya: pembeli memberikan uang atau barang; penjual memberikan suara. Kondisi saat pemilih menerima uang atau barang tapi menjatuhkan pilihan kepada kandidat lain tidak bisa disebut praktek politik uang atau vote buying, melainkan hanya kecurangan atau penipuan (Schaffer & Schedler 2007).

Perdagangan dalam politik uang yang timpang ini menjadikannya tidak mudah dilakukan. Uang atau barang yang dimiliki kandidat atau partai tidak tak terbatas. Mereka harus mengalokasikan dana terbatas itu secara efektif dan relatif mudah dikontrol. Setidaknya ada dua situasi yang memungkinkan suara diketahui. Pertama, pemilihan yang kurang bebas. Kedua, masyarakat bersifat komunal di mana individu bisa saling mengetahui pilihan politik masing-masing. Situasi yang membatasi praktek politik uang ini menjadi semacam seleksi alamiah bagi partai politik untuk terlibat dalam politik uang.

Studi Susan Stokes di Argentina memperlihatkan bahwa partai Peronis lebih mungkin melakukan politik uang dibandingkan dengan partai liberal. Penjelasannya panjang, tapi partai ini memiliki sejumlah karakter yang memungkinkannya menggunakan politik uang untuk mempengaruhi pemilih. Karakter itu antara lain sifatnya yang clientelist dan didukung massa pemilih dari kalangan miskin.

Tidak semua partai politik bisa atau mau melakukan politik uang. Pada level implementasi, pemberian uang atau barang kepada pemilih tidak dilakukan langsung oleh kandidat atau partai, tapi melalui tokoh-tokoh publik di wilayah tertentu yang memiliki pengaruh di lingkungan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sang pembagi uang atau barang itulah yang memiliki pengetahuan mengenai perilaku pemilih di wilayahnya. Karena keterbatasan sumber daya, tidak semua warga bisa diberi uang dan barang. Pertama-tama, yang akan diberi adalah orang-orang terdekat dan yang mudah diketahui pilihannya. Mereka biasanya merupakan kelompok yang memang sudah loyal. Dari sini tampak bahwa politik uang hanya memperkuat pilihan pemilih yang memang sudah loyal, bukan memperluas jangkauan kepada pemilih lain yang masih ragu, apalagi yang sudah punya pilihan lain. Ini yang menjelaskan mengapa politik uang sebenarnya hanya bagian dari clientelism. Nichter (2014) menyebutnya sebagai clientelist vote buying.

Pada level pemilih, politik uang juga terbatas pada karakter masyarakat tertentu. Masyarakat level miskin yang memiliki masalah keuangan mungkin adalah target utama politik uang. Kalangan muda seperti mahasiswa juga mungkin akan menerima pemberian kandidat—bukan karena mereka mahasiswa, melainkan mereka belum memiliki penghasilan yang besar atau tetap.

Kompleksitas politik uang dari level kandidat atau partai sampai level masyarakat membuat praktek ini sebetulnya sangat sulit mempengaruhi suara. Mari kita lihat salah satu contoh hasil exit poll di salah satu provinsi di Sumatera. Sekitar 12 persen responden yang ditanyai sehabis mencoblos di pilkada di sana menyatakan bahwa dalam seminggu terakhir mereka didatangi utusan partai. Dari jumlah itu, hanya sekitar 33 persen yang melapor diberi uang dan barang untuk memilih pasangan tertentu.

Jika terus ditelusuri, hanya sebagian dari 33 persen itu yang memilih calon karena diberi uang dan barang. Angka itu semakin mengecil karena dari yang memilih tentu tidak semua semata-mata memilih karena diberi uang. Bahkan, yang memilih karena diberi uang pun sangat mungkin memaknai pemberian itu secara berbeda-beda.

Proses yang panjang dan berliku ini memberi suatu pemahaman bahwa praktek politik uang tidak cukup mudah mempengaruhi peta dukungan dalam pilkada atau pemilihan umum. Sebaliknya, hampir semua survei di daerah yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan bahwa alasan utama pemilih memilih seorang calon adalah perhatian sang calon kepada rakyat, pengalamannya dalam pemerintah, kejujurannya (bersih), dan sikap amanahnya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Efek Buruk Serangan Fajar bagi Demokrasi yang Sehat

44 hari lalu

Bawaslu Ketat Awasi Politik Uang dan Media Sosial Selama Masa Tenang
Efek Buruk Serangan Fajar bagi Demokrasi yang Sehat

Serangan fajar tidak hanya mempengaruhi pemilih secara langsung dengan imbalan materi, tetapi juga memengaruhi integritas dan kualitas demokrasi


Mahfud Md Minta Pendukungnya Tak Gunakan Cara Curang, termasuk Politik Uang

31 Desember 2023

Menkopolhukam Mahfud Md menghadiri ibadah jelang Natal di Gereja Katedral Jakarta, Minggu, 24 Desember 2023. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
Mahfud Md Minta Pendukungnya Tak Gunakan Cara Curang, termasuk Politik Uang

"Pemimpin yang benar pasti dilahirkan dari proses yang benar, jujur, adil dan tidak tipu-tipu," kata Mahfud Md.


Pemilu 2024, Bawaslu DKI Soroti Isu Politik Uang hingga Netralitas ASN

24 November 2023

Ilustrasi politik uang. shutterstock.com
Pemilu 2024, Bawaslu DKI Soroti Isu Politik Uang hingga Netralitas ASN

Bawaslu DKI fokus pada sejumlah isu selama masa kampanye menjelang Pemilu 2024. Isu yang menjadi sorotan mulai dari politik uang hingga netralitas ASN


Sambut Tahun Politik Pemilu 2024, Unair Deklarasi Tolak Politik Uang

27 Agustus 2023

Universitas Airlangga (Unair) menandatangani deklarasi tolak politik uang dalam rangka menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024. Dokumentasi: Unair.
Sambut Tahun Politik Pemilu 2024, Unair Deklarasi Tolak Politik Uang

Universitas Airlangga (Unair) menandatangani deklarasi tolak politik uang dalam rangka menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024.


Jokowi Anggap Politik Uang Jadi Penyakit Setiap Pemilu

18 Desember 2022

Presiden Indonesia Joko Widodo alias Jokowi, berbicara pada KTT peringatan EU-ASEAN atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Uni Eropa  di Brussel, Belgia, 14 Desember 2022. REUTERS/Johanna Geron
Jokowi Anggap Politik Uang Jadi Penyakit Setiap Pemilu

Jokowi meminta Bawaslu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat karena akan mempermudah tugas mereka dalam mengawasi politik uang.


Polisi: Laporan Politik Uang Caleg Gerindra Sudah Dicabut

18 Juli 2019

Selebaran yang beredar pada Ahad, 14 Juli 2019, di aplikasi percakapan WhatsApp yang menyatakan kalau polisi memburu caleg DPRD DKI dari Partai Gerindra, Wahyu Dewanto, karena diduga melakukan tindak pidana politik uang saat Pemilu 2019. Polisi membantah mengeluarkan selebaran tersebut. Sumber: Istimewa
Polisi: Laporan Politik Uang Caleg Gerindra Sudah Dicabut

Yupen Hadi sebelumnya melaporkan caleg Gerindra Wahyu Dewanto atas dugaan politik uang pada 25 Mei 2019.


Dugaan Politik Uang, Polisi Bekuk Caleg Gerindra di Tanjung Balai

17 April 2019

Petugas menunjukkan barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019 di kantor Bawaslu Temanggung, Jawa Tengah, Selasa, 16 April 2019. Bawaslu Temanggung mengamankan sejumlah uang tunai pecahan Rp50.000. ANTARA
Dugaan Politik Uang, Polisi Bekuk Caleg Gerindra di Tanjung Balai

Polisi menunggu rekomendasi Bawaslu soal dugaan politik uang tersebut.


Cegah Politik Uang, Bawaslu Galakkan Patroli Pengawasan Pemilu

9 Maret 2019

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo. bawaslu.go.id
Cegah Politik Uang, Bawaslu Galakkan Patroli Pengawasan Pemilu

Patroli pengawasan ini dinilai bisa mencegah politik uang di masa tenang pemilu.


Belajar dari Perempuan Lereng Merapi Menolak Politik Uang

26 Februari 2019

Perempuan-perempuan lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta melakukan gerakan menolak politik uang dalam pemilu. Salah satunya dengan memasang stiker anti-politik uang di setiap keluarga. (TEMPO/Shinta Maharani)
Belajar dari Perempuan Lereng Merapi Menolak Politik Uang

Wasingatu Zakiyah, perempuan Desa Sardonoharjo, Sleman, Yogyakarta gigih menyebarkan ajakan melawan politik uang menjelang Pemilu 2019.


Pencoretan Mandala Shoji dari Daftar Caleg Masih Diproses KPU

12 Februari 2019

Artis Mandala Abadi Shoji (tengah) yang maju sebagai caleg berbincang dengan warga saat perayaan Maulid Nabi SAW di Kudus, Jateng (18/1). ANTARA/ Andreas Fitri Atmoko
Pencoretan Mandala Shoji dari Daftar Caleg Masih Diproses KPU

Pencoretan daftar caleg itu diputuskan KPU setelah Mandala Shoji dinyatakan terbukti bersalah melanggar aturan pemilu.