Beginilah jadinya Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta yang belum siap tapi dipaksa beroperasi. Kekacauan langsung muncul begitu terminal itu dibuka pada Selasa, 9 Agustus. Sudah telanjur, PT Angkasa Pura II (Persero) harus melanjutkannya dan memastikan pengoperasian terminal bertaraf internasional itu tak amburadul.
Kekacauan dua hari itu terjadi di hampir semua lini. Jadwal penerbangan tak menentu, penumpang terpaksa lesehan di ruang tunggu karena minimnya kursi, dan tempat parkir pun semrawut. Rambu-rambu di jalan menuju terminal dan petunjuk arah untuk penumpang bukan memudahkan, melainkan malah membingungkan.
Secara fisik, Terminal 3 berbiaya Rp 7,3 triliun ini sepintas sudah siap digunakan. Memang masih ada beberapa pekerjaan konstruksi yang dikebut. Namun pengoperasian sistem langsung terlihat kedodoran. Misalnya pengaturan pergerakan pesawat, yang sistemnya mendadak error ketika ada gangguan listrik.
Buntut byar-pet listrik sekitar pukul 19.00-20.30 pada hari pertama, jaringan teknologi informasi bandara yang terhubung ke sistem layanan Garuda Indonesia down. Sedikitnya 38 jadwal penerbangan terlambat rata-rata satu jam. Bahkan bongkar-muat bagasi penumpang, yang semestinya berjalan otomatis, terpaksa dilakukan secara manual.
Setelah ditelusuri, ternyata belum semua sistem layanan di Terminal 3 dipasangi perangkat daya cadangan atau UPS (uninterruptible power supply). Ini fatal. Komponen yang tergolong sederhana seperti ini saja terkesan dikesampingkan, bagaimana dengan perangkat yang canggih?
Di terminal ini terpasang sistem pengamanan yang mampu menangkap obyek dalam cuaca ekstrem: angin, hujan, dan gelap. Teknologi CCTV (kamera pemantau) sanggup merekam seluruh area terminal, termasuk di area apron pesawat. Belum lagi daya jangkau kamera yang bisa mendeteksi obyek pada jarak lebih dari 500 meter dan berputar 360 derajat. Sarana itu tidak ada di Terminal 1 dan Terminal 2.
Alat canggih dan modern ini bakal tak berfungsi maksimal bila pengoperasiannya tidak profesional. Semestinya, sebelum menerbitkan izin pengoperasian Terminal 3, Menteri Perhubungan mempertimbangkan lebih dulu kesanggupan operator bandara mengoperasikan teknologi tersebut. Bukan buru-buru menggunakan terminal itu.
Menteri Perhubungan terdahulu, Ignasius Jonan, menunda target pengoperasian terminal pada 20 Juni 2016, walaupun jadwal itu permintaan Presiden Joko Widodo. Mungkin karena menolak perintah Presiden, Jonan terkena reshuffle. Yang jelas, alasan Jonan saat itu masuk di akal. Faktanya, banyak pekerjaan yang belum kelar di Terminal 3.
Pengelola bandara, PT Angkasa Pura II, harus menjamin semua sarana terminal beroperasi normal dan ideal. Jika tidak, Bandara Soekarno-Hatta yang diproyeksikan melayani 62 juta penumpang per tahun itu akan semakin jauh dari nyaman. Mumpung masih lengang, belang-bonteng pelayanan Terminal 3 cepatlah diatasi.