Rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly meniadakan syarat menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotik harus ditolak. Alasan bahwa syarat itu menyebabkan penjara penuh sungguh tidak masuk akal. Menghapus syarat yang justru penting bagi pemberantasan tiga jenis kejahatan berat itu akan merugikan penegak hukum. Justice collaborator penting untuk membongkar jenis kejahatan yang umumnya dilakukan secara berkelompok tersebut.
Syarat menjadi justice collaborator itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur masalah pemberian remisi. Ini merupakan syarat tambahan yang dibuat semasa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Justice collaborator, sesuai dengan PP No. 99/2012, adalah kesediaan para narapidana bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan yang terlibat dalam kasusnya.
Ada alasan kuat mengapa dulu syarat tambahan untuk mendapatkan remisi ini dibuat. Korupsi, terorisme, dan narkotik adalah kejahatan berat. Ketiganya bukanlah jenis kejahatan biasa, karena akibatnya yang sangat merusak. Dengan syarat tambahan itu, efek jera atas kejahatan itu diperkuat. Penegak hukum pun lebih mudah membongkar kejahatan mereka.
Jika syarat itu dihapus, makna bahwa korupsi, terorisme, dan narkotik merupakan kejahatan berat akan berubah. Pelaku tiga jenis kejahatan tersebut akan "turun derajat" menjadi pelaku kejahatan biasa, yang syarat pemberian remisinya lebih mudah. Tak ada lagi efek jera yang lebih berat dibanding pelaku kejahatan biasa.
Menteri Yasonna menyebut syarat menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi itu dibuat dengan semangat "balas dendam" dan mengabaikan hak para narapidana. Alasan ini aneh. Pelaku ketiga kejahatan itu pantas mendapat hukuman berat. Bahkan, dalam kasus korupsi, terlalu banyak pelaku yang ternyata hanya menerima hukum ringan, jauh di bawah hukuman maksimal.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan sepanjang semester I 2012 hingga 2015 terdapat 533 terdakwa kasus korupsi yang divonis ringan. Rata-rata hukuman mereka berkisar 1 hingga 4 tahun penjara. Hukuman ringan ini tak cukup untuk membuat para koruptor jera. Hukuman itu menjadi makin ringan jika para koruptor bisa dengan mudah mendapatkan remisi.
Alasan Menteri Yasonna bahwa penjara kian penuh karena pengetatan pemberian remisi juga tak masuk akal. Jumlah para terpidana memang jauh lebih besar dibanding kapasitas penjara. Namun penjara sebagian besar dipenuhi pelaku kejahatan biasa. Sedangkan pelaku kejahatan korupsi, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M. Syarif, tak sampai satu persen dari seluruh penghuni penjara.
Yasonna semestinya tidak mengubah syarat pemberian remisi itu. Koruptor, pelaku teror, dan pelaku kejahatan tidak pantas diberi kemudahan untuk bebas dari penjara.