Tagar #StopBayarPajak, yang belakangan populer di Twitter, seperti menampar muka pemerintah yang berupaya menggenjot penerimaan negara. Apalagi, di dunia nyata, organisasi semacam Muhammadiyah pun ancang-ancang menggugat Undang-Undang Pengampunan Pajak. Padahal undang-undang ini belum juga seumur jagung disahkan.
Bila tak direspons dengan cerdas, perlawanan itu bisa kian mempersulit pemerintah mencapai target penerimaan Rp 165 triliun lewat program tax amnesty. Namun, ketimbang menuduh "perlawanan" itu sebagai politisasi, pemerintah sebaiknya lebih sigap menjelaskan tax amnesty ke semua lapisan wajib pajak.
Keresahan sebagian wajib pajak terjadi akibat simpang-siurnya informasi. Sejak awal, pemerintah mendengungkan tax amnesty hanya menyasar wajib pajak kelas kakap yang menyembunyikan harta di luar negeri. Ternyata, setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 disahkan, ketentuan pengampunan berlaku bagi semua golongan wajib pajak.
Tak pernah ada penjelasan gamblang kapan dan mengapa pemerintah akhirnya memperluas cakupan program pengampunan pajak. Semestinya, sejak awal pemerintah memberi tahu bahwa tax amnesty berlaku untuk semua wajib pajak. Toh, pemerintahjuga Dewan Perwakilan Rakyattak mungkin membuat undang-undang yang diskriminatif. Dalam praktek di negara lain pun, tax amnesty umumnya tak pandang bulu.
Ihwal pelaksanaannya, Undang-Undang Pengampunan Pajak bisa saja diterapkan berdasarkan skala prioritas. Bila yang mendesak adalah penambahan likuiditas dan investasi di dalam negeri, pengembalian (repatriasi) dana segar dari luar negeri harus menjadi prioritas. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak mesti mengoptimalkan tenaga mereka dalam memburu wajib pajak kaya yang memarkir asetnya di luar negeri. Prioritas berikutnya adalah wajib pajak besar yang menyamarkan hartanya di Indonesia.
Adapun kalangan usaha kecil dan menengah baru perlu diburu setelah wajib pajak besar terjaring. Toh, tanpa dikejar-kejar aparat pajak pun, pelaku usaha kecil dan menengah telah menjaga denyut nadi perekonomian negeri ini. Agar bisa berkembang, mereka justru perlu mendapat keringanan pajak, bukan ancaman sanksi bila mengabaikan tax amnesty.
Di tengah keresahan sebagian wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak akhirnya mengeluarkan Peraturan Nomor 11/PJ/2006. Peraturan ini, antara lain, menyebutkan petani, nelayan, buruh, dan pensiunan dengan pendapatan di bawah Rp 54 juta per tahunambang batas penghasilan tidak kena pajaktak perlu ikut tax amnesty. Kelompok wajib pajak ini pun bisa lepas dari ancaman sanksi denda 200 persen. Meski agak terlambat, peraturan ini sedikit melegakan bagi wajib pajak lapisan bawah.
Selanjutnya, pemerintah harus memastikan bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak tak hanya tajam ke bawah. Wajib pajak kaya, jika setelah diberi "karpet merah" masih membandel, pada akhirnya perlu dibuat jera.