Proses seleksi hakim agung harus terus dibenahi. Penolakan terhadap empat dari tujuh calon yang diajukan Komisi Yudisial oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengindikasikan ada standar berbeda yang diterapkan kedua lembaga itu dalam proses seleksi tersebut.
Komisi Hukum DPR pada Selasa lalu mengumumkan tiga calon hakim agung yang lolos proses uji kepatutan dan kelayakan. Mereka adalah Panji Widagdo (kamar perdata), Ibrahim (kamar perdata), dan Edi Riadi (kamar agama). Empat calon lainnya dinyatakan tidak lolos, yakni Setyawan Hartono (kamar perdata), Kolonel Hidayat Manao (kamar militer), serta Dermawan Djamian dan Marsidin Namawi (ad hoc tindak pidana korupsi).
DPR menyatakan, mereka yang tak lolos umumnya memiliki kelemahan dari segi integritas, kapabilitas, ataupun profesionalitas. Penjelasan yang terlalu umum itu tak menjawab rasa penasaran publik. Apalagi, dalam proses fit and proper test, salah seorang calon yang tak lolos, Setyawan Hartono, justru cukup berani mengungkap hal miring di Mahkamah Agung. Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, Lampung, itu mengakui di MA ada pegawai pengantar kertas yang bergaya hidup mewah dan memiliki harta mencurigakan.
Tercoretnya Setyawan menjadi sorotan karena, saat bertugas sebagai hakim pengawas, ia dinilai oleh koleganya cukup bersih dan berani. DPR tentu memiliki hak dan alasan untuk mencoret dia. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, DPR berhak memberikan persetujuan ataupun menolak calon yang disodorkan Komisi Yudisial. Namun, dengan minimnya penjelasan soal alasan penolakan itu, tak bisa disalahkan bila kemudian publik--yang sudah kerap dibuat kesal melihat ulah negatif para anggota DPR--menduga ada subyektivitas dan faktor kepentingan politik yang ikut mempengaruhi proses seleksi itu.
Apalagi, sebelum diajukan ke DPR, para calon sudah melalui proses seleksi cukup panjang di KY. Dilakukan sejak Maret lalu, seleksi itu meliputi tahap uji administrasi, kapasitas, kesehatan dan kepribadian, serta wawancara. Dari 122 calon yang dinyatakan memenuhi syarat, akhirnya ditetapkan tujuh orang untuk diajukan ke DPR, atau kurang satu dari jumlah hakim agung yang dibutuhkan. KY memilih tidak memenuhi kuota itu karena tak mau memaksakan calon yang tidak memenuhi standar.
Ketika DPR akhirnya menolak empat dari tujuh calon itu, jelaslah ada masalah. Ini bisa mengindikasikan bahwa seleksi oleh KY tidak sempurna, atau bisa pula kedua lembaga tersebut memakai parameter seleksi yang berbeda. Karena itu, DPR dan KY perlu berkomunikasi lebih intens untuk menyamakan parameter seleksi.
Hal itu penting dilakukan karena akhirnya akan menyangkut efisiensi. Setelah empat calonnya ditolak, KY kini harus kembali mengajukan nama baru ke DPR. Ini pemborosan tenaga, waktu, dan dana hanya karena parameter yang tak sama.