Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Amba

Oleh

image-gnews
Iklan

"Hari ini kau kembali dalam diriku seperti bintang di langit itusesuatu yang ada di antara kerdip dan hilang, yang selalu muncul pada titik di mana lupa menyiapkan kekosongan."

Bhisma, dokter yang dibuang ke Pulau Buru dalam novel Laksmi Pamuntjak, Amba, menulis kalimat pendek itu bertanggal 28 Desember 1973. Ia menuliskannya untuk perempuan yang ditinggalkannya di Jawa, dan kemudian menyimpan surat itu di bawah sebatang pohon. Ia tak pernah tahu apakah Amba, perempuan itu, akan menemukan dan membacanya; dokter itu tak pernah kembali, setelah hilang sejak 1965.

Novel ini, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pekan ini, secara tak langsung datang kepada kita, "pada titik di mana lupa menyiapkan kekosongan". Seorang lenyap; untuk menegaskan absensinya, yang ditampilkan novel ini hanyalah sejumlah surat yang digali dari bawah pohon di satu sudut Pulau Buru. Yang kita dapatkan suara seorang manusia, Bhisma, yang berada "di antara kerdip dan hilang".

Amba adalah salah satu novel yang menegaskan rasa cemas yang merundung kita di Indonesia hari ini: cemas bila "peristiwa 1965" yang menakutkan itu akan hilang, tanggal dari ingatan bersama. Kita tak ingin kembali buas.

Tak janggal bila akhir-akhir ini peristiwa itu hadir dalam sastra (sebelum Amba misalnya ada Candik Ala 1965 Tinuk R. Yampolsky, Blues Merbabu Gitanyali, dan setelah Amba, akan ada novel Pulang Leila S. Chudori). Yang membuat Amba berbeda adalah ceritanya tentang kehidupan para tahanan politik di Pulau Buru, lewat surat-surat Bhisma yang disembunyikan: ada kemarahan terhadap kekejaman, tapi juga humor, rasa terharu, bahkan optimisme. Tiap surat menggugah.

Benarkah demikian dulu? Sebuah novel tentang 1965 umumnya diminta agar ia "meluruskan sejarah". Generasi kini sadar, mereka tak diberi gambaran yang "benar" tentang yang terjadi di sekitar kekerasan politik 1965. "Orde Baru" mendesakkan penjelasan mereka, lewat film yang harus ditonton, buku sejarah dan media massa yang dikendalikan, juga teror dan sensor. Sebagai reaksi, kini tampak usaha membebaskan diri dari regimentasi ingatan selama 33 tahun itu.

Tadi saya sebut, kita berada ketika "lupa menyiapkan kekosongan". Kekosongan akan gairah terhadap yang benar dan adil, kekosongan dari hal-hal yang bukan sekadar hidup yang praktis. Mungkin sebab itu, kini fiksi berdasarkan sejarah lebih terasa "benar" ketimbang penulisan sejarah alias historiografi.

Tapi sebenarnya ada kedekatan di antara kedua jenis penceritaan tentang masa lalu itu.

Bagaimanapun, masa lalu adalah masa kini dengan sebuah adaptor. Kita hidup hari ini dengan ingatan yang tak mesti persis tentang hari kemarin. Kita butuh mekanisme untuk menyesuaikan X yang terkenang dengan X-1 yang terceritakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka historiografi bukanlah sebuah replika pengalaman. Tentu akan dikatakan, seorang penulis sejarah bekerja dengan petunjuk institusionalditeguhkan oleh akademi atau komunitas sejarawan yang diakuiagar mendapatkan presentasi yang se-"obyektif" mungkin. Tapi setidaknya ada dua hal yang sering membuat buku sejarah tak bisa mewakili sebuah pengalaman yang hidup.

Yang pertama: dorongan naratifnya. Cerita sejarah perlu alur, bahkan mungkin perlu ketegangan, dan juga klimaks. Kalau itu tak ada, pembacanya akan membentuknya sendiri. Tapi hidup, apalagi hidup sejumlah besar manusia, tak terhingga majemuknya, tak jelas suspens dan klimaksnyasifat yang akan tampak bila kita buat rekaman film tentang hidup kita dari menit ke menit katakanlah selama 45 tahun. Di hadapan itu, penulis sejarah perlu "bentuk" dalam narasi. Karyanya tak berbeda jauh dari seorang penulis novel.

Yang kedua: kehendak "rasionalitas". Satu kejadian didorong untuk bisa "masuk akal", terutama harus diletakkan dalam hubungan sebab-dan-akibat. Dalam kehendak "rasionalitas", tak ada yang tanpa penjelasan; tak ada asap kalau tak ada api.

Namun penjelasan yang "masuk akal", sebagaimana hubungan sebab-dan-akibat, sebenarnya hanyalah bentukan pikiran manusiatepatnya sang penulis sejarah yang menganalisis dan mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lain. Padahal banyak hal yang contingent, serba mungkin apa jadinya dan asal-usulnya. Tiap ikhtiar naratif untuk meletakkan mereka dalam sebuah kerangkadengan alur yang rapi dan hubungan sebab-akibat yang "masuk akal"menyebabkan historiografi beberapa meter menjauh dari "yang benar". Apalagi bila kerangka itu ditentukan sebuah kekuasaan yang ingin membuat buku sejarah sebagai legitimasi diri.

Fiksi, atau sastra, bisa lebih bebas dari kerangka yang menjerat itu. Sastra tak "mengingat", dalam arti mengulang yang sudah. Sastra "mencipta". Ada kata-kata Mark Twain yang terkenal, "When we remember we are all mad, the mysteries disappear and life stands explained." Sastra menyelamatkan misteri dari sikap takabur para penjelas. Sastra bersedia menempuh yang tak "masuk akal".

Mungkin itu sebabnya Midnight's Children Salman Rushdie membaurkan sejarah India modern dengan mithologi dan dongeng fantastis, diperkaya sikap bermain-main dengan alegori dan kata yang bisa lucu. Amba juga membiarkan titik-titik misteri. Ia punya puisi. Tapi ia memilih bentuk yang lebih "realistis", dengan membiarkan benturan antara mithos (kisah Bhisma dan Amba dalam Mahabharata) dan sejarah, antara sejarah dan kehidupan orang seorang. Novel ini, dengan riset yang mengesankan, tak bermain-main.

Tanpa memperpanjang yang tragis dan seram dari 1965, Amba tampaknya menyadari satu hal, dan ini dibawakannya dengan elegan: luka sejarah bisa disembuhkan, tapi tak sepatutnya menyebabkan orang ketawa.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Lee Sang Heon Minta Maaf Batal Hadiri Meet and Greet Secret Ingredient di Jakarta

25 menit lalu

Lee Sang Heon. Foto: Instagram/@sangheonleesh
Lee Sang Heon Minta Maaf Batal Hadiri Meet and Greet Secret Ingredient di Jakarta

Lee Sang Heon membuat video dan meminta maaf karena tidak bisa menyapa penggemarnya di Jakarta secara langsung.


Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

26 menit lalu

Wapres terpilih yang juga Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menghadiri acara pembagian sepatu gratis untuk anak-anak sekolah tak mampu di SMKN 8 Solo, Jawa Tengah, Jumat, 26 April 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

Gibran mengatakan para penerima sepatu gratis itu sebagian besar memang penerima program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta.


Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

37 menit lalu

Ilustrasi pria bertubuh tinggi dan pendek. shutterstock.com
Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.


Antara Eve dan K-Pop, Ini Kenapa Game Stellar Blade Dianggap Kontroversial

44 menit lalu

Tampilan menu utama game eksklusif PlayStation, Stellar Blade. Tangkapan gambar dari PS5. TEMPO/Reza Maulana
Antara Eve dan K-Pop, Ini Kenapa Game Stellar Blade Dianggap Kontroversial

Stellar Blade mendapat hujan kritik karena desain karakter tokoh utamanya, Eve. Game eksklusif PlayStation 5 atau PS5 ini rilis umat, 26 April 2024.


Pemda Sumbawa Bangun 3 TPA dan 11 TPS Terpadu

50 menit lalu

Pemda Sumbawa Bangun 3 TPA dan 11 TPS Terpadu

Pemerintah Kabupaten Sumbawa, membangun 3 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 11 Tempat Pengolahan Sampah (TPS) Terpadu, sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan sampah.


PPP Ajak Semua Pihak Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ada Peran Sandiaga Uno?

50 menit lalu

Ketua Bappilu PPP dan Ketua Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud, Sandiaga Uno memberi penjelasan tentang rencananya di masa tenang Pemilu 2024 saat ditemui di Pasar Gede Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 10 Februari 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
PPP Ajak Semua Pihak Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ada Peran Sandiaga Uno?

Sandiaga Uno mengucapkan selamat kepada Prabowo-Gibran.


Fernando Morientes Pajang Trophy Liga Champions di Indonesia, Bicara Fanatisme Suporter Tanah Air

52 menit lalu

Presiden Direktur Multi Bintang Indonesia Rene Sanchez Valle (kiri) dan Eks Penyerang Real Madrid Fernando Morientes dalam sesi jumpa pers Meet The UEFA Champions League Trophy & Legends di MGP Space, SCBD, Jakarta Selatan, Jumat, 26 April 2024. TEMPO/Randy
Fernando Morientes Pajang Trophy Liga Champions di Indonesia, Bicara Fanatisme Suporter Tanah Air

Fernando Morientes singgung bagaimana kegilaan penggemar sepak bola Indonesia yang rela menonton Laga Liga Champions tengah malam.


Klasemen Liga 1 dan Rekap Hasil Pekan Ke-33 Usai Persija Jakarta Kalahkan RANS Nusantara FC 1-0

1 jam lalu

Logo BRI Liga 1 2023-2024.
Klasemen Liga 1 dan Rekap Hasil Pekan Ke-33 Usai Persija Jakarta Kalahkan RANS Nusantara FC 1-0

RANS Nusantara FC harus menerima kekalahan dari Persija Jakarta pada pekan ke-33 Liga 1. Terancam degradasi.


DLH Sumbawa Tambah Sarpras Penanganan Sampah

1 jam lalu

DLH Sumbawa Tambah Sarpras Penanganan Sampah

Pemerintah Kabupaten Sumbawa melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), terus melakukan upaya dalam penanganan sampah.


Review Game Stellar Blade: Kuat di Visual, Lemah di Cerita

1 jam lalu

Eve, karakter utama game Stellar Blade. Game ini dirilis Sony Interactive Entertainment pada 26 April 2024. Tangkapan gambar dari PS5. TEMPO/Reza Maulana
Review Game Stellar Blade: Kuat di Visual, Lemah di Cerita

Sony Interactive Entertainment telah merilis game eksklusif Stellar Blade di PlayStation 5 atau PS5. Berikut review-nya.