Putu Setia
"Selamat Natal dan tahun baru bagi yang merayakan." Kalimat ini sudah berseliweran lewat pesan singkat, Twitter, dan Facebook. Kadang disertai gambar yang lucu. Ada pula yang kreatif melukis di layar seluler dengan simbol-simbol pada keyword.
Tapi saya tidak merayakan Natal. Untuk sahabat yang dekat, yang saya tahu persis dia juga tak merayakan Natal, ucapan selamat itu saya jawab dengan terima kasih sambil berterus-terang menyebut saya tidak Natalan. "Kalau begitu, tahun barunya kan merayakan," katanya. Ternyata saya juga tak merayakan tahun baru. Rasanya sudah malu ikut berhura-hura hanya untuk merayakan pergantian hari. Saya berdoa saja untuk keselamatan bumi dan bangsa tercinta.
Baca Juga:
Tak merayakan kedua-duanya, tetapi diberi selamat, sama sekali tidak membuat saya masygul. Saya berpikir positif, mungkin sahabat baru saya tak tahu persis apa agama saya, karena agama bukan untuk dipamer-pamerkan. Sahabat lama pun mungkin merasa repot harus membuang kata Natal dan hanya menyisakan tahun baru. Pasti sahabat saya mengirim lebih dari seratus ucapan selamat lewat pesan singkat dengan sekali klik. Dia tak sempat mengedit.
Saya justru merasa kagum dan tersanjung dengan beberapa sahabat yang menunjukkan keberanian mengirim ucapan selamat Natal--betapapun salah sasaran. Saya sebut sebuah keberanian karena sahabat saya itu termasuk "kena imbauan" untuk tidak mengirim ucapan selamat Natal lantaran tergolong haram.
Saya tak ingin bicara soal haram dan halal, apalagi ini bukanlah sejenis bakso sapi oplosan babi. Saya ingin urun pendapat, ucapan seperti itu hanyalah urusan duniawi, urusan pertemanan dan persaudaraan sesama makhluk bumi. Bukan di ranah ritual. Umat Hindu di Bali, terutama yang aktif di organisasi pecalang--satuan tugas pengamanan adat--sudah biasa menjaga gereja dan mengatur lalu lintas di depannya pada saat perayaan Natal. Bahkan di Gereja HKBP dekat rumah saya, pecalang dan pemuda masjid sama-sama membantu polisi mengatur lalu lintas. Ini tak ada urusan dengan keyakinan yang dipeluk.
"Allah Telah Mengasihi Kita", itulah tema Natal saat ini yang ditetapkan bersama oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Jika Tuhan adalah "esa" dan "kita" yang dimaksudkan adalah penghuni planet bumi ini, maka persaudaraan sejati dan saling memberi kasih kepada sesama manusia adalah wujud bakti dan cinta kita kepada Tuhan. Jangankan cuma memberi ucapan selamat, apa pun yang kita punya dan yang bisa kita lakukan untuk saling memberi kasih kepada sesama manusia harus kita lakukan. Adapun urusan dan cara atau jalan seseorang untuk memuja Tuhan, biarlah itu menjadi urusan individu yang tak bisa kita paksakan sesuai dengan cara kita. Kecuali kalau cara yang ditempuh itu membahayakan pihak lain, misalnya berteriak-teriak di jalanan, memaki sembarang orang, atau menghancurkan fasilitas umum dengan mengatasnamakan ritual agama. Tak ada agama yang ajarannya membuat onar dan membenci orang. Agama diturunkan untuk merayakan kedamaian.
Mari kita pupuk toleransi antarumat beragama karena sesungguhnya kita semua dalam kasih Tuhan. Mari kita kirim senyum dari ketulusan hati, baik dengan cara tradisional bersilaturahmi maupun cara modern mengirim pesan pendek ucapan selamat. Melarang membagi kasih seperti itu tetapi menikmati hari rayanya--ikut libur, mendapat diskon Natal di toko, dan sebagainya--hanya memberi citra buruk pada peradaban. Selamat Natal, saudara-saudaraku kaum Kristiani. Damai di bumi dan damai bangsaku.