Binsar M. Gultom, Anggota Ikatan Hakim Indonesia dan doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Lima komisioner Komisi Yudisial (KY) yang baru dilantik di Istana Negara pada 18 Desember lalu, menyusul dua anggota lainnya untuk periode 2015-2019, sedang diuji eksistensinya untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim seluruh Indonesia, termasuk institusi peradilan Indonesia di bawah naungan Mahkamah Agung (MA). Terlebih dengan adanya rencana Pengurus Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) untuk mengegolkan Undang-Undang Contempt of Court, yang telah masuk dalam pembahasan DPR tahun 2016.
KY dibentuk, selain bertugas memilih calon hakim agung, untuk menjaga harkat dan martabat para hakim dari berbagai bentuk intervensi dan pencemaran nama baik hakim, termasuk institusi peradilan. Pasal 13 Undang-Undang KY menegaskan bahwa yang bertanggung jawab menjaga kehormatan dan martabat hakim adalah komisioner KY, dan ketentuan ini dijabarkan lewat Pasal 20 UU KY, yang pada pokoknya mengatakan, "Jika ada kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, seperti melakukan intervensi, kritik terhadap putusan hakim, lalu menjelek-jelekkan hakimnya, KY harus segera mengambil tindakan tegas melalui langkah hukum atas perbuatan tersebut."
Nah, setiap terjadi pro-kontra atas putusan hakim dari masyarakat, KY tak usah alergi, karena itu hal yang wajar. KY tinggal mencermati apakah ada tindakan-tindakan yang mengarah ke pencemaran nama baik hakim. KY, selaku pejabat negara, dilarang turut serta mempersoalkan putusan pejabat negara (kehakiman) karena, selain terikat dengan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan negara, terlebih bila perkara itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), pada pokoknya pemeriksaan KY atas laporan masyarakat terhadap putusan hakim bersifat tertutup dan rahasia.
Maka, sebelum ada keputusan yang mempersalahkan hakim terlapor, KY dilarang keras menyebarluaskan hasil investigasinya. Dalam polemik seperti itu, KY seharusnya mampu memberikan penjelasan kepada pihak yang keberatan atas putusan hakim supaya melakukan upaya hukum, bukan ikut-ikutan mencari kesalahan putusan hakim lewat pemeriksaan "panel" komisioner KY, lalu membuat rekomendasi kepada MA, yang mempersalahkan hakim terlapor melalui media masa.
Anehnya, ketika MA menolak rekomendasi KY dengan alasan rekomendasi itu telah memasuki ranah teknis perkara, KY langsung meradang, tak terima, lalu melakukan protes. KY lupa diri bahwa yang memberikan sanksi adalah MA, bukan KY. Tugas KY hanya memberi rekomendasi sebagai lembaga etik eksternal hakim.
UU KY mengatakan secara tegas, jika KY melanggar UU KY, ia akan mendapat sanksi pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia bisa diduga melanggar KUHP tentang pencemaran nama baik dan/atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan sudah diaturnya secara tegas sanksi pidana atas pelanggaran UU KY ini, maka izin Presiden kepada komisioner KY terkait pelanggaran hukum tersebut tidak diperlukan.
Jika yang dipersoalkan masyarakat menyangkut teknis perkara, KY harus kritis menyikapi keberatan masyarakat tersebut untuk segera menyerahkan permasalahan itu ke MA. Jangan telan sendiri permasalahan itu, lalu menilai dan mengklarifikasinya lewat "panel KY". Ingat, yang berwenang meminta keterangan tentang teknis peradilan dari semua badan peradilan adalah MA, bukan KY. Dengan demikian, apa pun kekurangan putusan hakim tidak boleh dipersoalkan oleh KY, sesuai denganasas hukum res judicata proveritate habitur: putusan hakim itu harus dianggap benar, terkecuali dibatalkan oleh putusan pengadilan di atasnya.
Dengan demikian, kecenderungan KY selama ini, yang menjadikan putusan hakim sebagai pintu masuk untuk mengetahui ada-tidaknya pelanggaran kode etik perilaku hakim harus segera ditinggalkan. Untuk mengetahui pelanggaran kode etik hakim itu bukan melalui putusan hakim, melainkan fakta empiris, baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan, misalnya melakukan perselingkuhan atau terima suap.
Penulis berharap komisioner KY yang baru dapat meninggalkan kebiasaan pelanggaran hukum tersebut. Seyogianya pula mulai sekarang KY membuat parameter yang jelas tentang mekanisme dan prosedur pengawasan hakim sesuai dengan ketentuan UU KY tanpa harus mencampuri teknis perkara.
Dari mekanisme ini, akan tampak harmoni antara yang mengawasi (KY) dan yang diawasi (hakim) ibarat orang tua yang selalu melindungi dan mengayomi anaknya sendiri. Dengan sendirinya hubungan KY dengan MA akan kembali normal, karena tidak ada jurang pemisah lagi antara KY dan MA.