Jalal, Sustainability and Social Responsibility Strategist
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan delapan bank di Indonesia menandatangani green banking pilot project pada akhir November lalu. Penandatanganan itu bersamaan dengan dilaksanakannya seminar internasional Sustainable Finance to Support Sustainable Development Goals. Peristiwa tersebut merupakan perwujudan dari Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang diluncurkan oleh OJK pada akhir 2014.
Kesadaran tentang perlunya mengarahkan sektor finansial untuk membiayai upaya mencapai keberlanjutan—dan menjauhi segala hal yang menyebabkan ketidakberlanjutan—semakin kuat beberapa tahun belakangan. Di level global, standar-standar telah banyak diperkenalkan untuk mendorong hal tersebut. Puncaknya, pada Oktober 2015, United Nations Environment Programme (UNEP) meluncurkan dokumen The Financial System We Need, yang menguraikan secara rinci bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai.
Jadi, perhatian OJK tentu sangat penting untuk disyukuri. Namun ada berbagai hal yang penting untuk diperhatikan agar roadmap tersebut membawa Indonesia ke tujuan keberlanjutan. Yang pertama, roadmap tersebut masih menggunakan model keberlanjutan paling tradisional: model pilar. Dunia telah bergeser dua kali sejak model tersebut diperkenalkan, yaitu menjadi model triple bottom line, lalu sekarang menjadi model nested. Pada model paling mutakhir, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan tidaklah setara, melainkan ekonomi dipandang sebagai bagian dari sosial, dan sosial menjadi bagian lingkungan. OJK perlu mengadopsi model ini bila tak ingin tertinggal di level global.
Kedua, dasar segala perhitungan OJK yang menetapkan perlunya pembiayaan berkelanjutan sejumlah Rp 500 triliun per tahun selama 2015-2019 disandarkan pada Greenhouse Gas Abatement Cost Curve 2009. Padahal perhitungan ulang telah dilakukan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2014, yang hasilnya lebih detail dan jauh berbeda dengan sebelumnya. Agar asumsi pembiayaan keberlanjutan menjadi lebih mendekati kenyataan, sebaiknya OJK memperbaiki perhitungannya berdasarkan dokumen yang lebih baru itu.
Ketiga, roadmap OJK menggunakan dua pendekatan untuk pendanaan keberlanjutan, yaitu persentase tertentu dari total seluruh portofolio investasi dan penugasan kepada bank tertentu. Pendekatan ini sangatlah berbeda dengan apa yang telah diperkenalkan, dan berhasil, di banyak negara. Industri jasa keuangan, sama dengan industri lainnya, sangat sensitif dengan peluang dan risiko bisnis. Karena itu, yang sangat penting untuk dibuat oleh OJK adalah menunjukkan business case dari keuangan berkelanjutan.
Keempat, alih-alih sekadar menyatakan bahwa sekian persen dari total kredit yang digelontorkan harus terdiri atas sektor-sektor tertentu, OJK perlu menciptakan sistem insentif untuk pembiayaan bagi projek-projek dari sektor ekonomi hijau. Ini jauh lebih sesuai dengan model keberlanjutan mutakhir. Sementara itu, kalau terus berkutat di persentase, akan tetap ada proporsi pembiayaan yang terus saja akan menggagalkan keberlanjutan.
Energi fosil, misalnya, sudah seharusnya tak lagi dibiayai oleh bank dalam beberapa tahun ke depan. Sementara itu, untuk energi terbarukan, harus disediakan insentif yang membuatnya signifikan dalam bauran energi Indonesia.
Kelima, OJK sangat perlu membuat kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang benar-benar melindungi masyarakat dan lingkungan. Bukan hanta dengan memberikan petunjuk penapisan pembiayaan berdasarkan kriteria-kriteria itu, tapi juga sistem regulasi untuk memastikan bahwa kinerja tersebut benar-benar dicapai oleh bank-bank di Indonesia serta dipantau dan dievaluasi oleh seluruh komponen masyarakat. Kerja sama yang erat dengan beragam kementerian dan penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan transformasi perbankan ini.
Terakhir, rencana untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan perlu diwujudkan segera. Tak ada pilihan, perbankan Indonesia perlu menerapkan standar Global Reporting Initiative 4.0 dan Financial Services Sector Disclosure. Mungkin pada 2016 bisa disosialisasi terlebih dulu, karena belum banyak bank di Indonesia yang memahami praktek yang sudah lumrah di level global ini. Kewajibannya dilakukan dalam jangka waktu yang tak terlampau lama setelahnya. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pelaporan keberlanjutan itu memaksa perusahaan untuk menjadi lebih baik.