Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies
Eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap ulama Syiah, Syekh Nimr Baqr al-Nimr, pada 2 Januari lalu, telah memicu protes kaum Syiah di Timur Tengah. Ia dieksekusi bersama 46 orang lainnya, yang mayoritas anggota Al-Qaidah.
Nimr adalah ulama panutan dan rujukan (marja taqlid) masyarakat Syiah di Saudi. Dia memang agitator politik ulung dan berada di balik demonstrasi besar anti-monarki Saudi pada 2011 dan 2012, seiring dengan meletusnya Musim Semi Arab, gelombang unjuk rasa di negara Arab yang dimulai pada Desember 2010. Tapi Nimr, yang ditangkap pada Juli 2012, sama sekali bukan teroris. Ia mengkritik perlakuan diskriminatif pemerintah Saudi terhadap kaum Syiah di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan, tapi selalu menganjurkan protes damai dan menentang kekerasan.
Di pengadilan militer, yang tidak akuntabel dan transparan, Nimr mengakui semua aspek politik yang dituduhkan kepadanya, tapi menolak tuduhan pengadilan bahwa ia membawa senjata, menganjurkan kekerasan, dan bertindak sebagai kaki tangan Iran. Agaknya Saudi sengaja mengeksekusinya bersama orang-orang Al-Qaidah untuk tidak terlihat sebagai tindakan sektarian. Nimr juga dipandang dapat mengancam keamanan kerajaan atau berpotensi dimanfaatkan Iran untuk mendestabilkan Saudi.
Eksekusi Nimr berlangsung beberapa hari setelah Saudi mengumumkan defisit APBN sebesar US$ 98 miliar dan kenaikan harga minyak sebesar 50 persen, yang akan disusul oleh kenaikan iuran listrik dan air. Hal ini jelas tidak menyenangkan rakyat. Apalagi rakyat Saudi sudah kecewa terhadap kebijakan pemerintahnya yang mendukung kudeta di Mesir, yang dilancarkan oleh Jenderal Abdul Fattah el-Sisi, terhadap pemerintahan Al-Ikhwan Al-Muslimin di bawah Presiden Muhammad Mursi pada 2013.
Maka, tujuan eksekusi terhadap Nimr dan 46 orang lainnya bisa dilihat sebagai peringatan keras terhadap pihak-pihak dalam negeri yang tidak puas oleh kebijakan internal ataupun eksternal Saudi dan kepada negara-negara kawasan bahwa pemerintah Saudi tidak akan segan-segan menghukum siapa pun yang mencoba mengganggu keamanan Saudi. Sebagai respons terhadap reaksi Iran yang dipandang berlebihan, Riyadh memutus hubungan diplomatik dengan Teheran. Akibatnya, ketegangan sektarian di kawasan meningkat tajam. Hal itu akan berdampak pada upaya-upaya perdamaian di Yaman dan Suriah. Tak mengherankan bila PBB segera mengirim utusannya, Saffan de Misrata, ke Riyadh dan Teheran untuk meredakan ketegangan.