Keputusan Presiden Joko Widodo mencalonkan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) layak dipertanyakan. Rekam jejak Budi saat bertugas di kepolisian semestinya menjadi pertimbangan utama Presiden untuk tidak mencalonkannya dalam jabatan penting itu.
Rekam jejak itu tecermin dalam beberapa masalah yang pernah menimpa Budi. Pertama, dia pernah diduga terkait dengan kasus "rekening gendut" karena tercatat melakukan tiga kali transaksi besar pada Agustus 2005 senilai Rp 25 miliar, Rp 14 miliar, dan Rp 15 miliar. Jumlah kekayaannya tiga tahun lalu juga fantastis: Rp 22 miliar.
Kedua, pada Januari tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi. Ia lolos dari kasus ini karena hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan yang diajukannya. Status tersangka pun gugur dari lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1983 ini.
Dengan catatan itu, semestinya politikus Senayan yang akan melakukan uji kelayakan calon Ketua BIN lebih berhati-hati. Suara mereka, yang pagi-pagi menyatakan pencalonan Budi bakal mulus, sungguh tidak pantas. Apalagi mereka menganggap masalah hukum yang pernah membelit Budi telah selesai. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa putusan praperadilan tidak menghapus perbuatan pidana tersangka, melainkan hanya menyentuh masalah prosedural.
Dewan juga tidak boleh lupa bahwa soal Budi Gunawan ini telah memicu kembali ketegangan antara KPK dan kepolisian. Penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK dibalas polisi dengan kriminalisasi terhadap komisioner KPK. Bambang Widjojanto, salah satu komisioner, sempat ditahan polisi. Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, juga menjadi tersangka. Keduanya menjadi tersangka dengan alasan yang dicari-cari.
Kasus-kasus itu semestinya menjadi pertanyaan anggota Dewan saat uji kepatutan nanti. Banyak hal yang bisa dipertanyakan. Dari soal asal-usul hartanya yang di luar kewajaran, konfliknya dengan KPK yang membuat kita ragu terhadap komitmennya memberantas korupsi, hingga kedekatannya dengan PDI Perjuangan.
Jabatan Kepala BIN merupakan jabatan strategis. Lembaga intelijen ini dibekali kewenangan melakukan deteksi dini, pengintaian, bahkan penyusupan, lalu melaporkan hasilnya ke presiden. Dengan kewenangan sestrategis itu, BIN harus menjadi lembaga yang netral, semata-mata menjalankan fungsinya sebagai aparat negara.
Akan sangat berbahaya bila fungsi itu disalahgunakan. Kelayakan Budi sebagai Kepala BIN makin meragukan karena pencalonannya diduga merupakan kompromi politik, yaitu sebagai kompensasi batalnya dia menjadi Kapolri. Jika anggapan ini benar, sungguh disayangkan, karena lembaga negara telah menjadi alat tawar-menawar kepentingan politik.