Di tangan Yan Anton Ferdian, dua perbuatan bertolak belakang bisa dilakukan bersamaan: korupsi dan ibadah. Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan, ini ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap, yang dananya dipakai untuk naik haji. Tak hanya itu, uang pelicin dari pengusaha yang mengincar proyek di daerahnya diterima saat digelar pengajian menjelang keberangkatan ke Tanah Suci.
Penangkapan Yan menambah panjang daftar kepala daerah yang dijebloskan ke penjara karena menerima rasuah. Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam menjadi tersangka korupsi karena mendapat suap penerbitan izin tambang. Keduanya sukses mengikuti jejak puluhan kepala daerah yang terlebih dulu diterungku KPK karena menyalahgunakan wewenang.
Para koruptor tampaknya tak mengenal kata jera. Peristiwa koruptor ditangkap KPK sepertinya tidak lagi menakutkan bagi para kepala daerah. Lemahnya sanksi yang diterima para koruptor sepatutnya dipersoalkan sebagai penyebab utama praktek lancung itu terus berulang.
Rendahnya hukuman buat koruptorseperti tampak dari penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW)disinyalir membuat koruptor tak kapok. Dalam pemantauan sepanjang Januari-Juni 2016, sebagian besar koruptor hanya mendapat hukuman rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara.
ICW membagi hukuman kepada koruptor dalam empat kategori, yaitu bebas, ringan (dihukum hingga 4 tahun), sedang (5-10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun). Sepanjang semester pertama 2016, dari 352 perkara korupsi, 275 koruptor dijatuhi vonis ringan. Sisanya, 46 putusan berstatus bebas, 37 putusan sedang, dan hanya 7 vonis masuk klasifikasi berat.
Tren ini mencemaskan karena, jika dibandingkan dengan periode semester pertama 2015, jumlah vonis ringan pada awal tahun ini meningkat.
ICW mencatat, pada periode yang sama tahun sebelumnya, 163 terdakwa mendapat vonis ringan. Sedangkan pada semester pertama 2014, ada 193 terdakwa yang mendapat vonis ringan.
Melihat meningkatnya jumlah vonis ringan bagi pelaku korupsi, Mahkamah Agung mesti mengoreksi diri. Para hakim semestinya sadar bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Bukan hanya hukuman maksimal yang sepatutnya dijatuhkan, tapi lebih dari itu: melahirkan terobosan dengan menjatuhkan pidana tambahan. Misalnya dengan mengenakan pasal pencucian uang yang berujung pada penyitaan aset serta pencabutan status politik atau kepegawaian.
Tak bisa tidak, berbagai langkah untuk memperberat hukuman merupakan pekerjaan berat bagi KPK. Pendalaman dan kelengkapan bukti sejak penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan kasus korupsi mesti menjadi prioritas. Tanpa itu, lambat-laun, tindakan korupsi bisa berganti menjadi kejahatan yang biasa-biasa saja.