Presiden Joko Widodo sebaiknya berkaca setelah mendesak dunia merealisasi pertukaran informasi pajak internasional. Dia semestinya ingat, Indonesia adalah satu di antara segelintir negara yang belum memenuhi standar pertukaran informasi pajak secara utuh.
Ada pekerjaan rumah warisan pemerintahan terdahulu yang belum diselesaikan Jokowi: membuka akses pajak terhadap data perbankan. Jokowi menyerukan desakannya di depan forum Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Hangzhou, Tiongkok, Ahad lalu. Dia menyatakan target penerimaan sebesar Rp 165 triliun dari pemberlakuan program pengampunan pajak sulit tercapai. Dalihnya, pemerintah kesulitan mengembalikan duit warga negara Indonesia yang berkeliaran di luar negeri.
Pemerintah memang pantas tertekan. Program tax amnesty yang bergulir sejak medio Juli lalu hingga kemarin baru menambah penerimaan negara dari tebusan sebesar Rp 5,03 triliun. Deklarasi harta hasil repatriasi juga hanya mencapai Rp 13,6 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Tapi pemerintah juga harus paham bahwa pertukaran informasi pajak internasional tak hanya berarti meminta lalu menerima data. Direktorat Jenderal Pajak harus menyiapkan dan memberikan data serupa ke otoritas pajak mancanegara. Siapkah Indonesia?
Faktanya, Indonesia, yang ikut meneken deklarasi Forum Global untuk Transparansi dan Pertukaran Informasi Pajak, justru tertinggal oleh negara lainnya. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dalam laporannya Juli lalu, menempatkan Indonesia di antara 12 negara berpredikat "partially compliant" alias memenuhi sebagian kecil standar acuan negara G-20.
Rapor merah Indonesia terletak pada keleluasaan otoritas pajak mengakses informasi wajib pajak, terutama dari data perbankan. Pada kategori ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan cap "non-compliant" di antara 101 negara yang dievaluasi. Indonesia bahkan terbelakang dibanding Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebetulnya mengatur pemanfaatan data perbankan untuk kepentingan pajak. Masalahnya, aturan ini tak mudah diterapkan karena ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang melindungi kerahasiaan data nasabah. Kondisi tersebut tak berimbang dibanding negara G-20 lainnya, yang membuka penuh akses otoritas pajak terhadap data bank.
Karena itu, ketimbang berkoar meminta negara lain patuh, Presiden Joko Widodo sebaiknya segera membenahi ketidaksiapan Indonesia dalam pertukaran informasi pajak internasional. Pemerintah harus segera mendorong revisi undang-undang tersebut, yang kini terbengkalai di Senayan sejak ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional prioritas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.
Jokowi hendaknya ingat, waktu semakin sempit. Indonesia terancam malu karena tak mampu memenuhi komitmen mengikuti pertukaran informasi pajak internasional secara otomatis pada 2018 nanti.