Keputusan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membolehkan diteruskannya kembali proyek reklamasi di Pulau G, Teluk Jakarta, amat terburu-buru. Pencabutan moratorium itu menabrak putusan pengadilan dan protes publik.
Alasan Luhut sungguh sulit dimengerti. Menurut dia, semua aspek dampak berbahaya bagi lingkungan, nelayan, juga pembangkit listrik, ternyata tak ada. Padahal Pengadilan Tata Usaha Negara pada akhir Mei lalu justru mengabulkan gugatan yang diajukan sejumlah koalisi masyarakat sipil ihwal penerbitan Surat Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang izin pelaksanaan reklamasi. SK itu diberikan kepada PT Muara Wisesa Samudra, pengembang Pulau G. Hakim menilai reklamasi di pulau itu secara nyata berdampak terhadap lingkungan dan aktivitas perekonomian nelayan setempat. Air jadi keruh dan jarang dihuni ikan.
Hakim juga menilai penerbitan izin itu menyalahi prosedur. Warga sekitar, yang terkena dampak langsung proyek tersebut, tak pernah dirangkul pemerintah agar suara mereka turut didengarkan.
Sungguh aneh bila akhirnya Luhut memutuskan proyek reklamasi di Pulau G seluas 161 hektare bisa dilanjutkan. Keputusan kontroversial itu diambil setelah dia menggelar rapat di kantornya bersama anggota kementerian yang ada di bawahnya, PT PLN, pengembang, dan pemerintah DKI.
Langkah Luhut ini menganulir keputusan yang sudah dibuat pendahulunya, Rizal Ramli. Pada 30 Juni lalu, Menteri Rizal menghentikan proyek pembangunan Pulau G. Proyek milik anak perusahaan Agung Podomoro Land itu dinilai mengganggu instalasi dan mengancam lingkungan hidup serta kehidupan nelayan.
Salah satu proyek vital yang dianggap terganggu oleh proyek tersebut adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang, yang menyuplai sebagian besar listrik untuk Jakarta. Pulau G dibangun pada jarak hanya 300 meter dari pembangkit itu. Padahal, menurut ketentuan, pulau tersebut minimum harus berjarak 500 meter. Dalam kebijakan baru ini, Luhut mengatakan ada rekayasa yang bisa dilakukan agar kepentingan pembangkit itu tak terganggu.
Soal PLTU Muara Karang merupakan satu dari sejumlah kritik publik terhadap Pulau G dan 16 pulau lainnya. Nelayan adalah pihak lain yang juga merasa terganggu oleh pembangunan pulau itu, karena mata pencarian mereka terancam. Selain memperpanjang jalur nelayan menuju tempat berlabuh di Muara Angke, proyek itu mengganggu biota laut dalam jangka panjang.
Memang ada pertimbangan lain yang harus diperhatikan soal reklamasi ini, yaitu konsistensi pemerintah atas kebijakan yang sudah dibuatnya. Ini soal reputasi pemerintah di mata investor. Sangat penting menjaga konsistensi, asalkan kebijakan itu memang dibuat dengan pertimbangan rasional, matang, dan menguntungkan publik. Bila kebijakannya tak memenuhi kriteria itu, tak ada kebutuhan untuk membelanya mati-matian. Pertanyaannya: apakah proyek reklamasi ini menguntungkan bagi kepentingan publik, ataukah jangan-jangan hanya untuk menambah laba segelintir pengusaha? Pemerintah mesti jujur dalam soal ini.