Dewan Perwakilan Rakyat harus memilih calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berkualitas dan berintegritas. DPR harus serius mencari yang terbaik untuk menggantikan satu anggota BPK, Bahrullah Akbar, yang akan habis masa jabatannya pada akhir September ini. Keputusan internal Komisi Keuangan DPR sudah menetapkan 24 nama calon anggota BPK. Mereka akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan pada 19-21 September 2016.
Sebagai pemimpin lembaga negara yang kedudukannya setara dengan presiden, anggota BPK memiliki kekuasaan besar. Merekalah yang menyusun perencanaan strategis ruang lingkup audit hingga apa dan siapa yang akan diaudit. Seorang anggota BPK bahkan bisa mempengaruhi opini yang diberikan auditornya hingga hasil audit mana yang harus ditindaklanjuti.
Menurut undang-undang, hasil audit BPK bersifat final dan mengikat. Jika hasil audit menemukan indikasi kerugian negara, penegak hukum harus menindaklanjuti temuan tersebut. Dengan kewenangan yang besar itu, fungsi BPK demikian penting dan keanggotaan BPK pun jadi rebutan.
Patut dipertanyakan, 24 nama yang dicalonkan oleh Komisi Keuangan DPR ternyata mengabaikan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sebelumnya telah melakukan seleksi serupa. Rekomendasi DPD tak dipakai sama sekali, padahal hal itu dilakukan dalam empat hari sidang. Menurut Undang-Undang MD3, calon anggota BPK yang menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR juga mempertimbangkan usul DPD.
Awal bulan lalu, dipimpin langsung oleh ketuanya, Irman Gusman, DPD melakukan seleksi ketat, dan terpilih delapan nama calon anggota BPK. Delapan nama ini direkomendasikan kepada DPR dengan sistem ranking. Tes yang dilakukan DPD meliputi latar belakang pendidikan, keahlian, pengalaman kerja, visi dan misi, integritas, serta kepemimpinan.
Sayangnya, Undang-Undang BPK memberi peluang kepada DPR untuk menentukan sendiri anggota BPK. Hal ini mudah ditumpangi agenda politik tertentu. Sebaiknya pemilihan anggota lembaga negara yang penting ini dilakukan melalui penyaringan awal oleh semacam panitia seleksi, seperti yang dilakukan untuk memilih pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun lembaga tinggi negara lainnya. Langkah ini bisa mengurangi proses pemilihan yang bermuatan politis. Dengan aturan yang sekarang, sulit mendapatkan anggota BPK yang independen dalam mengaudit.
Mekanisme adanya panitia seleksi di luar DPR membuat masyarakat bisa berperan sehingga mengurangi kemungkinan terpilihnya calon bermasalah. DPR pun hanya memilih dari calon yang diajukan panitia seleksi. Tidak seperti sekarang ini, ketika DPR terkesan seperti memilih koleganya sendiri atau mantan anggota parlemen. Calon dengan rekam jejak buruk bisa terpilih, begitu pula calon yang tak punya pengalaman dalam bidang audit. Apalagi kalau prosesnya melibatkan suap-menyuap. DPR harus dikontrol dalam memilih anggota BPK, lembaga yang mengawal anggaran negara ini.