Tertangkapnya Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sabtu dinihari lalu mengejutkan. DPD selama ini tidak dianggap sebagai lembaga yang punya kewenangan besar. Tidak seperti DPR, yang memiliki kewenangan menyetujui anggaran pemerintah, DPD praktis "kurang berkuasa". Namun penangkapan Irman memberi tahu kita satu hal: korupsi tak hanya bisa terjadi pada lembaga yang berkuasa. Irman, dengan bekal posisinya sebagai Ketua DPD, ternyata tetap bisa memperdagangkan pengaruhnya.
Irman merupakan ketua lembaga tinggi negara kedua yang dicokok Satuan Tugas KPK di rumah dinasnya setelah Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 2 Oktober 2013. Akankah kasus Irman ini menjadi puncak gunung es tindakan korupsi oleh anggota DPD? Memang, berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, lembaga DPD tak memiliki hak anggaran seperti DPR. Namun, becermin pada kasus suap Irman, dia yang tanpa kewenangan hak anggaran sekalipun dapat mempengaruhi Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam memuluskan langkah CV Semesta Berjaya mendapatkan kuota gula impor untuk Sumatera Barat tahun 2016.
Sebagai Ketua DPD RI, Irman mempunyai pengaruh dan akses. Menurut KPK, Irman dengan kekuasaannya sebagai pejabat tinggi negara telah menghubungi Direktur Utama Bulog dan merekomendasikan CV Semesta Berjaya secara lisan. Barang bukti berupa uang suap Rp 100 juta dari bos CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto,yang ditemukan di kamar Irman saat operasi tangkap tangan, merupakan tanda terima kasih atas rekomendasi tersebut.
Kasus suap kepada Irman ini terjadi ketika DPD tengah menyuarakan penguatan kelembagaan melalui amendemen UUD 1945. Pada 25 Agustus lalu, Irman mengatakan akan memanfaatkan wacana perubahan UUD 1945 itu untuk memperluas kewenangan DPD. Menurut dia, perubahan tersebut penting agar DPD dapat diperlakukan sesuai dengan cita-cita reformasi. "Agar kami setara dengan DPR," ujarnya.
Di awal tahun ini, muncul wacana penghapusan DPD. Usul itu mencuat lantaran DPD disebut hanya sebagai aksesori demokrasi. Fungsi dan kinerjanya di parlemen dinilai tidak jelas. DPD semestinya merupakan lembaga yang mendapat legitimasi penuh sebagai representasi suara rakyat. Anggota DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keinginan DPD menjadi lembaga yang lebih kuat itu seolah-olah telah dimentahkan sendiri oleh Irman. Khalayak bisa bertanya: tanpa kewenangan kuat saja bisa melakukan korupsi, bagaimana jika kewenangannya lebih besar?
Kasus Irman juga sekali lagi mengingatkan kita bahwa perilaku korup bisa terjadi di lembaga mana pun, di tingkat jabatan apa pun. Irman adalah contoh, besar-kecilnya kasus korupsi bukan soal duit "receh" Rp 100 juta yang dia terima, melainkan soal jabatan yang telah diperdagangkannya.